Pernah kepikiran gak sih awal mula amalan wakaf tuh kayak bagaimana?
Jika kamu sama seperti kami, sama-sama bekerja di lembaga amal, kami rasa kamu pernah ditanyai asal-muasal wakaf. Dahulu kami juga bingung mesti jawab apa. Bingung ya karena wakaf tuh sudah kayak healing gak sih, sama-sama sudah membudaya di kanan-kiri kita?
Tetapi itu kan dulu. Sekarang, setelah belajar dari berbagai bacaan, kami jadi tahu mengapa salah satu ayat di surat Ali Imran itu jadi dalil berwakaf.
Karena pewakaf pertama dalam Islam, Zaid bin Sahl al-Anshori, mewakafkan ladang uangnya kepada kepentingan dakwah Islam.
Bagaimana kisahnya?
Ini kisah pengimplementasian dalil wakaf dalam Islam
Suatu hari setelah Perang Badar, Rasulullah tengah beristirahat di sebuah kebun tidak jauh dari Masjid Nabawi. Istilah anak jaman now tuh Rasulullah tengah healing.
Kebun Bairuha’, tempat favorit Rasul healing, adalah kebun kurma yang subur dan rindang. Kebun ini menjadi salah satu sumber cuan utama pemiliknya Abu Thalhah ra., alias Sahabat Nabi yang bernama asli Zaid bin Sahl al-Anshori.
Tak ayal ia sangat menyayangi kebun ini selain karena kualitas hasilnya yang bagus, karena kebun ini sering disinggahi panutan hidupnya, yaitu Rasulullah Muhammad saw.
Di hari itu begitu mendengar Rasulullah tengah healing di kebunnya, ia dengan segera menemui beliau saw. Sejumpanya dengan Rasul ia segera membuka obrolan:
“Wahai Rasulullah, (aku telah mendengar) Allah telah berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
[“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.”] [QS. Ali Imran (3) ayat 92]
Sungguh, harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha’. Sungguh (setelah mendengarkan firman-Nya tadi), aku mewakafkan kebun tersebut dengan harapan ganjaran pahala dari Allah, lalu Allah menjadikan pahalanya sebagai simpananku di akhirat kelak. (Oleh karena itu,) Aturlah tanah ini sesuai petunjuk Allah kepadamu.”

Mendengar maksud mulia sahabatnya di atas, Sang Nabi sontak memujinya:
“Wahh, (harta pemberianmu) itulah harta yang benar-benar menguntungkan! Benar-benar harta yang menguntungkan!”
Meski beliau saw. memuji tindakan sahabatnya memberikan harta kesayangannya, akan tetapi beliau tidak berniat menerimanya. Ujarnya:
“(Kamu tahu benar bahwa) aku telah mendengar maksud obrolan kita. Namun aku berpendapat, hendaknya engkau sedekahkan kebunmu ini untuk kerabatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rupa-rupanya Rasul sedang mengajarkannya prioritas penerima bantuan, yakni dimulai dari orang terdekat dahulu.
Sejak mendengar nasehat guru panutannya di atas, Sahabat Zaid bin Sahl al-Anshori dan keturunannya selalu membagi-bagikan manfaat Kebun Bairuha untuk keluarga besarnya.
Hikmah kisah pengimplementasian dalil berwakaf sebelumnya
Melihat Sahabat Abu Tholhah telah mewakafkan harta terbaiknya, yaitu Kebun Bairuha’, para sahabat yang lain segera menyusul untuk berwakaf.
Beragam harta mereka wakafkan. Ada yang mewakafkan tanah seperti Sahabat Abu Tholhah ra., dan malahan ada yang mewakafkan tempat tinggalnya.
Dari beragam keteladanan berwakaf para Sahabat Nabi beribu-ribu tahun yang lalu itulah ulama-ulama kita telah merumuskan rukun wakaf.

Saat kumpulan komponen disebut rukun, berarti ke semua komponen itu harus dihadirkan sebelum amalnya dikerjakan.
Artinya, komponen-komponen di bawah ini harus dihadirkan dahulu sebelum amalan wakaf dilaksanakan. Rukun wakaf yakni:
1. Wakif
Wakif ialah si pemberi wakaf. Seorang muslim bisa disebut wakif hanya ketika ia telah baligh serta sehat secara jasmani dan rohani saat sigat (akad /ikrar wakaf) dilangsungkan,
dan harta yang ingin diwakafkan (maukuf) adalah harta yang halal plus terbukti miliknya.
2. Mauquf
Seperti yang disinggung di atas, maukuf adalah harta yang akan diwakafkan.
3. Maukuf ‘alaih /Mustahik
Adapun julukan yang ketambahan “‘alaih” di akhir istilahnya, semisal Maukuf ‘alaih ini, menandakan bahwa dirinya adalah objek dari sebuah transaksi.
Maukuf ‘alaih haruslah seorang dewasa (baligh) dan berakal sehat.
Biarpun penerima wakaf bisa jadi sekelompok orang, misalnya muslim/ah Papua yang akan menerima wakaf Quranmu, namun saat sigat haruslah diwakili oleh seorang dewasa yang berakal sehat.
4. Sigat
Dan terakhir sigat /ikrar wakaf, yakni prosesi pemindahan penerimaan manfaat harta wakaf dari pemilik /pemberi wakaf kepada penerimanya.
Dengan sigat, wakif telah memberhentikan diri dan ahli warisnya dari menikmati manfaat maukufnya (waqf).
Oleh karenanya banyak yang merasa penting untuk membuat sigat di Kantor Urusan Agam (KUA) terdekat dari si mustahik agar tidak adalagi sengketa lahan di lain hari.
Cuman menurut kami jika maukufnya belum menyentuh jutaan rupiah, maka tidak perlu melibatkan KUA saat sigat.
Contohnya saat kamu ingin berwakaf mushaf al-Quran ke Papua:

Tentu kamu merasa berat pergi ke KUA di Papua hanya demi membuat sigat, betul?
Beda halnya dengan mengajak keluarga dan kolegamu ikut berwakaf al-Quran ke Papua bersamamu, pastinya dengan mudah bisa dilakukan.
Di zaman sekarang kan mengajak orang yang kita kenal cukup dengan ketak-ketuk layar ponsel tanpa perlu beranjak kaki.
Sudahlah semudah itu, dengan mengajak lingkaran pertamamu berwakaf pastinya bisa menambah pahala jariyahmu.
Jadi, kenapa gak berwakaf lalu mengajak mereka juga berwakaf sekarang saja?