Saat kita mengingat kematian yang akan datang tiba-tiba, saat itulah kita mulai mengkhawatirkan keselamatan diri di kehidupan selanjutnya.
Terlebih jika kita mengingat ke belakang, terbayang jelas banyaknya amal buruk kita daripada amal baiknya. Hampir pasti diri ini tidak mungkin tidak disiksa sejak masuk ke alam kubur.
Namun beruntungnya kita sebagai umat Nabi Muhammad saw., kita diberikan jalan tikus menambah berat timbangan amal baik kita. Jalan tikus itu yang kita namakan dengan wakaf.
Cuma saat kita mencoba mengelaborasi kata “wakaf”, yang terlintas hanyalah gambaran pemberian harta/barang. Kita hampir-hampir tidak tahu bagaimana amal baik ini bermula, iya atau tidak?
Permulaan penerapan dalil wakaf di dalam Al-Quran
Pemula wakaf yang mungkin belum kamu tahu ialah Sahabat Nabi Muhammad saw. yang dijuluki Abu Tholhah ra. Nama aslinya ialah Zaid bin Sahl bin al-Aswad al-Anshari, salah seorang pembesar suku Ansar.
Selain terhormat berkat nasabnya, dirinya juga dihormati karena usahanya sering berhasil dan perangainya yang dermawan. Ia pernah memberi makanan kepada seluruh penduduk Madinah yang kelaparan kala sedang dikepung Pasukan Ahzab yang berjumlah ribuan.
Kisah lain kedermawanannya yakni ketika dirinya memberikan seluruh keuntungan Kebun Bairaha’, kebun tersuburnya, kepada kerabat dan kemenakan-kemenakannya.
Intermezzo sebentar, “Abu Thalhah” jika diterjemahkan bisa berarti “Sang Dermawan” (Father of Fruitfulness).

Pemberian Kebun Bairaha’ tersebut yang mengawali amalan berwakaf umat Muhammad hingga hari kiamat kelak, insya Allah.
Jadi ceritanya, suatu hari Allah swt. menurunkan Surat Ali Imron ayat 92 di bawah,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ
“Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apapun yang kamu infakkan (kelak), sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya.” (QS. Ali Imran [3]: 92).
Saat Rasulullah membacakannya pertama kali Sahabat Abu Tholhah tidak sedang berada di sana. Akhirnya ayat tersebut sampai kepada Abu Tholhah dari Sahabat Nabi yang lain.
Lalu keesokan-keesokan harinya Rasulullah mampir ke Kebun Bairaha’, tempat healing favoritnya.
Mengetahui Rasul sedang berada di kebunnya, Abu Tholhah tidak menyia-nyiakan kesempatan ini menanyakan kebenaran ayat yang didengarnya.
Tanyanya:
“Wahai Rasulullah, aku telah mendengar Allah swt. memfirmankan ayat ini [lalu beliau membaca ayat ke 92 Surat Ali Imron di atas)”.
Setelah membacakan ayatnya ia menunggu tanggapan Rasulullah akan kebenaran ayat yang didengarnya. Setelah melihat beliau saw. tidak menyanggah, lantas ia melanjutkan maksud dan tujuannya bertemu sahabatnya itu.
“Sungguh, harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’. Sungguh, aku wakafkan kebun ini demi mengharap pahala dari Allah, lalu ia menjadikannya sebagai simpananku di akhirat kelak.
(Wahai Rasulullah,) Aturlah tanah ini sesuai petunjuk Allah swt.”
Mendengar maksud dan tujuan mulia sahabatnya, Sang Nabi terlihat senang. Balas Sang Nabi:
“Wow, harta wakafmu inilah harta yang penuh dengan keberkahan, benar-benar harta yang penuh keberkahan!”
Akan tetapi Nabi Muhammad ternyata tidak berkehendak menerima wakafnya. Ia menolaknya karena ingin memberikan saran yang lebih baik bagi sahabatnya Abu Tholhah Al-Anshori ini.
Lanjut beliau saw.:
“Aku memang telah mendengar jelas kalimatmu barusan, namun aku memiliki pendapat yang berbeda. (Alih-alih memberikannya kepadaku,) Hendaknya engkau sedekahkan kebunmu ini ke kerabatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mendengar saran dari sahabat sekaligus panutan hidupnya itu, Zaid bin Sahl al-Anshari segera menyedekahkan keuntungan Kebun Bairaha’ kepada kemenakan-kemenakannya.
Rukun wakaf dari penerapan mula-mula di atas
Jejak kebaikan Abu Tholhah di atas langsung ditiru Sahabat-sahabat Rasulullah yang lain. Mereka berlomba-lomba berwakaf karena mereka mengincar “الْبِرَّ/ kebajikan (yang sempurna)”,
yang tidak lain dan tidak bukan ialah “surga”.
Berbagai macam harta para Sahabat yang diwakafkan, namun semuanya memiliki 4 macam hal yang selalu ada. Keempat macam hal itulah yang disebut oleh ulama kita di kemudian hari sebagai rukun wakaf.
Rukun-rukun wakafnya yaitu:
1. Wakif
Wakif ialah subjek/ pemberi wakaf. Seseorang bisa disebut wakif hanya ketika dirinya sudah memeluk Islam (muslim/ah), dewasa (baligh), berakal sehat, dan pemilik sah harta yang akan diwakafkan (maukuf).
2. Maukuf
Seperti yang disinggung di atas, maukuf ialah barang/ harta yang akan diwakafkan. Harta yang doleh diwakafkan hanyalah harta yang halal, yang dimiliki wakif secara halal, dan hartanya abadi.
“Harta yang dimiliki wakif” berarti seluruh tagihan atas hartanya telah dilunasi. Sedangkan “harta abadi” itu harta yang usia pemakaiannya lebih dari setahun.
3. Maukuf alaih/ Mustahik
Biarpun kebalikannya dari wakif, penerima wakaf/ maukuf alaih/ mustahik tetap haruslah orang yang baligh dan berakal sehat saat ikrar wakaf (sigat) dilangsungkan.
Jika mustahiknya banyak, misalnya muslim Papua yang menerima wakaf Al-Quran melalui BWA, maka penerimanya cukup 1 orang baligh dan berakal tokoh muslim/ah Papua.
4. Sigat
Dan terakhir, selayaknya muamalah (transaksi antar manusia) dalam Islam, saat prosesi ikrar/ sigat serah-terima wakaf harus diutarakan secara gamblang bahwasanya nama wakif, maukuf, dan maukuf ‘alaih; dan juga wakif beserta ahli warisnya tidak akan mengambil kembali maukufnya.
Untuk menguatkan sigat, sigat disahkan secara hukum di KUA (kantor urusan agama) terdekat dari maukuf ‘alaih-nya agar kelak tidak terjadi usaha pengambilan kembali maukufnya.
Cuma umumnya hal di atas dilakukan ketika maukuf/ harta wakafnya bernilai besar seperti tanah ataupun kebun.
Akan tetapi jika maukufnya semurah mushaf Al-Quran untuk muslim-muslimah di Pulau Papua, kamu tidak perlu repot-repot mendatangi KUA Papua. Kamu bisa langsung bersigat di bawah sekarang juga:
Lalu karena berwakaf Al-Quran terasa lebih ringan daripada berwakaf tanah dan sejenisnya, yang pastinya harus menabung beberapa waktu dahulu, kamu bisa dengan mudahnya mengajak keluarga dan kolegamu ikut berwakaf Al-Quran.
Sekarang, saatnya kamu mengimplementasikan rukun wakaf
Iya, sekarang saat yang tepat bagimu membangun kebiasaan berwakaf. Kamu bisa mulai dari wakaf Al-Quran ke Papua di atas.

Dengan Al-Quran wakafmu, terlebih jika ditambah dengan Quran-quran wakaf bapak dan kawan-kawanmu, perkembangan agama Islam di bumi paling timur Indonesia tersebut (insya Allah) akan menjadi lebih cepat.
Karena kalian telah memudahkan mereka memiliki Al-Quran tanpa harus menempuh perjalanan berjam-jam yang melelahkan demi membeli Al-Quran. Iya, terkadang hanya untuk membeli Al-Quran bisa jadi mereka harus menaiki perahu ke kota seberang.
Kini dengan berwakaf lewat BWA kamu tidak perlu berangkat jauh ke Papua agar wakafmu sampai. Percayakanlah kami mengurus wakafmu hingga muslim Papua menerima Quran-quran kalian.
Sekarang, gaskeun: