Melalui jalur Pantura ke arah selatan, setelah melewati Cirebon, Anda akan melewati Kuningan, salah satu kabupaten yang berada tepat di kaki Gunung Ciremai. Memasuki Kuningan, orang akan disuguhi dengan suasana damai khas kawasan kaki gunung. Pemandangan hijau pegunungan dan area persawahan membuat teduh setiap mata yang memandangnya. Gunung Ciremai yang berdiri kokoh, membuat siapapun yang gemar naik gunung berkeinginan mencapai puncaknya. Area persawahan yang terhampar luas, sangat berbeda dengan pemandangan Ibukota yang berupa bangunan-bangunan tinggi dari beton. Bertani memang merupakan aktivitas sehari-hari sebagian besar warga Kuningan.
Tempat-tempat teduh di bawah naungan pepohonan rindang, masih dapat dijumpai di sepanjang jalan memasuki Kuningan. Karenanya, sesekali kita bisa menyaksikan beberapa orang warga tengah bersandau gurau di bawah pohon rindang di atas bangku dari potongan bambu.
Udara sejuk dihembuskan oleh angin yang semilir. Terdengar gemerisik suara daun-daun yang bergesekan dari gerumbul pepohonan rindang di pinggir-pinggir jalan. Suara itu, diselingi suara deru kendaraan, seolah-olah menjadi paduan suara yang terdengar di sepanjang jalan memasuki kota ini.
Bagi mereka yang setiap harinya bergulat dengan rutinitas kota beserta segala hiruk pikuknya, semua pemandangan itu membuat diri seolah menemukan kembali alam.
Itu pulalah yang dirasakan Tim BWA saat menginjakkan kaki di Kuningan guna menyampaikan amanah wakaf dari para wakif. Di rumah Ust. Engkus Kustika, mitra BWA di Desa Mandirancan Kecamatan Cilimus, Tim BWA singgah. Dibantu beberapa orang warga, Al Qur’an wakaf diangkut dari mobil menuju rumah Ust. Engkus. Pada tahap awal, 300 buah Al Qur’an wakaf siap disebarkan ke beberapa titik yang membutuhkan.
Di kabupaten ini, kita akan diingatkan pada komunitas penganut Ahmadiyah yang berpusat di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana. Beberapa tahun yang lalu, saat issu pelarangan Ahmadiyah muncul ke permukaan, desa ini menjadi salah satu sumber berita yang dimunculkan media. Tak lain karena ia menjadi pusat penyebaran ajaran yang dianggap sesat tersebut. Berdasarkan informasi, eksistensi Ahmadiyah disana sudah ada sejak tahun 1950-an sampai sekarang. Di desa ini, mereka mendirikan musholla, masjid, serta lembaga pendidikan. Bahkan kepala desa disana seringkali dijabat oleh penganut Ahmadiyah. Hal ini dibenarkan oleh Ust. Engkus. Ia menuturkan, dirinya pernah bertemu dengan seorang penganut Ahmadiyah yang mantan kepala desa di Desa Manis Lor. Saat ditanya soal Ahmadiyah dan ajarannya, umumnya mau merespon dengan baik. “Mungkin dikiranya saya tertarik ikut ajaran Ahmadiyah kali ya,” ungkap Guru SMP Mandirancan 2 ini.
Selain itu, di kabupaten ini juga kita akan diingatkan dengan agama Djawa Sunda yang merupakan kepercayaan sejumlah masyarakat di daerah Kecamatan Cigugur. Agama yang dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur ini, dikenal juga sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Berdasarkan keterangan, salah satu ajaran Madrais — yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais — adalah penghormatan terhadap Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi. Ia memuliakan maulid Nabi Muhammad, namun menolak Al Qur’an karena menurutnya Al Qur’an yang sekarang tidak sah. “Insya Allah kita juga berencana menyebarkannya (Al Qur’an Wakaf, Red.) kesana,” kata Ust. Engkus saat ditanya tentang hal itu.
Selain soal ajaran-ajaran menyimpang tersebut, aroma kemusyrikan juga tercium dari kolam pemandian Cibulan yang terletak di Desa Manis Kidul, Kecamatan Jalaksana, sekitar 300 meter masuk ke barat dari Jalan Raya Cirebon-Kuningan. Cibulan merupakan salah satu obyek wisata tertua di Kuningan, dimana diresmikan pertama kali pada hari Minggu, 27 Agustus 1939, oleh Bupati Kuningan waktu itu, RAA Mohamad Achmad. Di area ini, terdapat tujuh mata air yang dikeramatkan, yaitu Keramat Sumur Tujuh. Masing-masing adalah Sumur Kejayaan, Sumur Kemulyaan, Sumur Pangabulan, Sumur Cirancana, Sumur Cisadane, Sumur Kemudahan, dan Sumur Keselamatan. Konon, di Sumur Cirancana terdapat Kepiting Emas, dimana jika ada orang yang sedang mujur dan dapat melihat wujud dari Kepiting Emas itu, maka segala keinginannya akan terkabul. Di tengah-tengah ketujuh sumur tersebut, terdapat sebuah petilasan keramat Prabu Siliwangi. Menurut warga, petilasan yang berupa susunan batu seperti batu menhir dan dua patung harimau loreng tersebut, sering dikunjungi orang guna memohon keberhasilan dalam hidupnya. Mereka percaya bahwa air di tujuh sumur keramat itu akan membawa keberkahan dan dapat mengabulkan permohonan mereka. Sebuah aroma kemusyrikan yang sangat kentara.
Oleh karenanya, Ust. Engkus menyambut baik adanya Al Qur’an wakaf ini. “Insya Allah dapat menjadi sarana dakwah guna membentengi masyarakat dari ajaran-ajaran perusak akidah seperti Ahmadiyah,” kata lulusan IKIP Bandung tahun 1997 ini menegaskan.[bwa]