- Ketentuan tentang al-Mawqûf ‘alayh (pihak yang penerima manfaat wakaf).
Al-Mawqûf adalah orang atau pihak yang menerima manfaat dan hasil dari harta yang diwakafkan. Merekalah yang menjadi pihak yang dituju oleh wakaf. Wakaf dapat ditujukan untuk:
- Ketaatan secara umum dan tidak ditujukan untuk orang tertentu (al-waqfu ‘ala jihat al-birr).
Dalam hal ini al-wâqif memberikan manfaat harta yang diwakafkan untuk kebajikan secara umum tanpa mengkhususkannya untuk orang-orang tertentu. Wakaf untuk tujuan ini harus mengandung al-birr (kebaikan) di dalamnya.
Oleh karena itu, mewakafkan masjid, jembatan, sekolah, mencetak buku-buku yang bermanfaat, dan lain-lain termasuk dalam wakaf ini.
Dalam hal ini, harus dipastikan benda yang diwakafkan terkatagori sebagai kebaikan. Sebagai contoh, ketika mewakafkan masjid, maka yang dimaksudkan adalah masjid sebagaimana ketentuan syariah. Jika dia membangun masjid dalam rangka untuk memecah belah umat, menjauhkan umat Islam dari agamanya, dan lain-lain, maka wakaf seperti ini tidak sah karena tidak adalam katagori al-birr (kebaikan).
Demikian juga wakaf yang ditujukan untuk fakir miskin, para mujahidin, ibnu sabil, orang-orang yang terlilit hutang, dan kriteria lainnya tanpa menyebut nama personnya. Ini termasuk wakaf ‘ala jihat al-birr, untuk tujuan kebaikan karena bersedekah kepada orang-orang miskin merupakan suatu kebaikan. Namun hendaklah yang diprioritaskan adalah yang miskin dan membutuhkan di antara mereka. Sebab, apabila sebuah hukum dikaitkan dengan suatu sifat tertentu, maka hukum itu semakin kuat seiring dengan kuatnya sifat tersebut.
Demikian pula ketika wakaf ditujukan untuk kerabat, maka diprioritaskan kerabat yang paling dekat.
Kebolehan untuk kepentingan tersebut karena maksud dari wakaf adalah untuk mengharap pahala Allah Swt dengan melaksanakan ketaatan. Sedangkan semua perkara tersebut termasuk dalam ketaatan, sehingga membantu terwujudnya ketaatan adalah sebuah ketaatan, dan merupakan tolong-menolong dalam ketaatan, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَى ٢
Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa (QS al-Maidah [5]: 2).
Dikatakan Imam an-Nawawi, “Tidak sah berwakaf kecuali untuk kebajikan yang ma’ruf, seperti jembatan, masjid, orang miskin, dan kaum kerabat. Apabila berwakaf untuk sesuatu yang tidak ada unsur taqarrub, seperti tempat sinagog, gereja, buku Taurat dan Injil, untuk orang yang membegal atau murtad dari agamanya, tidak sah. Sebab tujuan dari wakaf adalah taqarrub (kepada Allah Swt). Sedangkan semua yang kami sebutkan itu membantu kemaksiatan.[1]
Apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk pembangunan gereja[2] atau untuk mencetak buku-buku yang memasarkan kekufuran, maka wakaf seperti ini tidak sah karena di dalamnya merupakan tolong-menolong dalam mewujudkan kemaksiatan dan dosa. Allah Swt berfirman:
وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ٢
Dan janganlah tolong-menolong dalam perkara dosa dan permusuhan (QS al-Maidah [5]: 2).
- Kepada orang-orang atau kelompok tertentu yang ditunjuk namanya (al-waqf ‘alâ syakhsh mu’ayyanin aw jamâ’ah mu’ayyanah)[3].
Dalam hal ini, harta yang diwakafkan ditujukan untuk orang tertentu. Contohnya seseorang berkata, “Saya wakafkan buku ini untuk Ahmad.”
Adapun kriteria seseorang yang boleh diberi wakaf adalah setiap orang yang diperbolehkan untuk diperlakukan dengan baik, maka boleh bagi seseorang mewakafkan hartanya kepada setiap muslim, karena seorang muslim dibolehkan -bahkan disyariahkan- untuk berbuat baik kepada muslim atau sesamanya.
Termasuk dalam wakaf ini adalah berwakaf kepada anak, cucu-cucu, dan kerabat. Ketika seseorang berkata, “Barang ini saya wakafkan untuk anak-anakku,” maka sah. Sebab, keberadaan anak bagi orang yang berwakaf telah jelas.
Tidak sah berwakaf kepada orang yang majhûl (tidak diketahui), seperti wakaf kepada seseorang yang tidak jelas. Atau wakaf kepada orang yang dipilih oleh Fulan, misalnya. Sebab, wakaf merupakan pemilikan yang dapat ditunaikan, maka tidak sah pada yang majhul, seperti jual beli dan hibah.[4]
Penjahat dan pelaku kriminal yang jelas-jelas belum bertaubat dan akan bertambah kemaksiatannya dengan adanya wakaf tersebut, tidak diperbolehkan menjadi penerima wakaf. Sebab, itu termasuk dalam katagori tolong-menolong dalam kemaksiatan.
Adapun wakaf kepada orang kafir, maka hal ini perlu diperinci. Apabila orang kafir tersebut termasuk orang kafir dzimmi, maka dibolehkan wakaf kepada mereka.[5]
Di antara alasannya, mereka dapat memiliki harta dengan kepemilikan yang harus dihormati (tidak boleh dicuri atau diambil dengan cara yang tidak hak). Di samping itu, diperbolehkan bersedekah kepada mereka, sehingga diperbolehkan pula wakaf bagi seorang Muslim mewakafkan kepada mereka.[6]
Diriwayatkan bahwa Shafiyah binti Huyai’ istri Nabi saw, beliau pernah mewakafkan sesuatu kepada saudaranya yang beragama Yahudi, sebagaimana dalam sebuah hadits: Bahwa Shafiyah binti Huyai ra istri Nabi saw, beliau pernah mewakafkan (sesuatu) kepada saudara Yahudinya (HR al-Baihaqi dan lainnya).
Namun disyaratkan, tidak tampak padanya maksud untuk maksiat. Seandainya seseorang berkata: “Saya berwakaf kepada pelayan gereja,” maka tidak sah.[7]
Sedangkan terhadap kafir harbi dan orang murtad tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mewakafkan hartanya kepada mereka.[8]
Sebab, seorang muslim tidak boleh berbuat baik kepada mereka lantaran mereka memerangi agama Islam, sebagaimana mafhûm mukhâlafah (makna kebalikan) dari firman Allah SWT :
لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن
تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٨
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak me-merangimu karena agama(mu) dan orang-orang yang tidak mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS al-Mumtahanah [60]: 8)
Ayat di atas menunjukkan bahwa umat Islam boleh berbuat baik dan berlaku adil kepada siapa saja yang berbuat baik kepada umat Islam dan tidak memerangi umat Islam walaupun mereka orang kafir.
Adapun orang kafir yang kafir harbi, yang memerangi umat Islam, tidak diperbolehkan berbuat baik kepada mereka. Bahkan, sebagaimana diterangkan Imam al-Nawawi, orang murtad dan kafir harbi diperintahkan untuk diperangi. Maka, tidak ada artinya berwakaf kepada mereka.[9] Memerangi mereka sebagaimana dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an, seperti firman-Nya:
وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ ١٩٠ وَٱقۡتُلُوهُمۡ حَيۡثُ ثَقِفۡتُمُوهُمۡ وَأَخۡرِجُوهُم مِّنۡ حَيۡثُ أَخۡرَجُوكُمۡۚ وَٱلۡفِتۡنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۚ وَلَا تُقَٰتِلُوهُمۡ عِندَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ حَتَّىٰ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِيهِۖ فَإِن قَٰتَلُوكُمۡ فَٱقۡتُلُوهُمۡۗ كَذَٰلِكَ جَزَآءُ ٱلۡكَٰفِرِينَ ١٩١
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. (QS al-Baqarah [2]: 190-191).
Menurut al-Zuhaili, batilnya wakaf kepada kafir harbi dan kebolehan wakaf kepada kafir dzimmi termasuk perkara yang disepakati.[10]
Harta wakaf tidak boleh ditujukan untuk diri sendiri.
Wakaf adalah menginfakkan harta dari dirinya untuk taqarrub kepada Allah Swt, sehingga kalau dia mewakafkan hartanya untuk dirinya sendiri, maka hakikatnya dia tidak berbuat apa-apa atas hartanya. Maka, sebagaimana dikatakan Imam al-Nawawi, tidak boleh berwakaf untuk dirinya sendiri; dan tidak boleh pula mensyaratkan sedikitpun dari harta yang diwakafkan itu untuk dirinya.[11]
Bahkan, seandainya wakaf itu ditujukan untuk ditujukan dirinya bersama orang lain selain ahli waris tetap tidak boleh, seperti, “Saya berwakaf untuk diriku bersama Fulan.” Maka sesungguhnya batal wakaf yang khusus ditujukan kepada dirinya. Demikian pula apa yang dikhususkan bersama orang lain.[12]
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau berkata: Aku tidak mengetahui adanya wakaf kecuali harta yang dikeluarkan (oleh pemiliknya) untuk Allah Swt atau di jalan-Nya.
Orang yang mewakafkan harta benda boleh ikut memanfaatkan harta yang diwakafkannya selama dia termasuk dalam cakupannya
Apabila seseorang telah mewakafkan hartanya untuk kaum Muslimin, maka diperbolehkan baginya ikut memanfaatkan harta wakaf itu. Sebab, dia termasuk dalam cakupannya. Contohnya ketika seseorang mewakafkan masjid, maka dia diperbolehkan shalat di dalamnya. Demikian juga orang yang mewakafkan tanah makam untuk kaum Muslimin, boleh dikubur di dalamnya; mewakafkan sumur bagi kaum Muslimin, diperbolehkan baginya ikut minum atau mengambil darinya; atau mewakafkan sesuatu yang berlaku untuk seluruh kaum Muslimin, maka dia berhak sebagaimana yang lain. Menurut Ibnu Qudamah, tidak ada perbedaan dalam hal ini.[13]
Hal ini didasari oleh hadits Utsman ra beliau mengatakan:
Tatkala Nabi saw datang ke Madinah, sedangkan di sana tidak ada air segar kecuali air sumur Raumah, kemudian Nabi saw bersabda: “Siapa yang mau membeli sumur Raumah kemudian (diwakafkan) dan timbanya diletakkan di sumur itu bersama timba kaum muslimin, maka dia akan mendapatkan pahala (sebab wakaf itu) berupa kebaikan di surga?” Maka aku membelinya dengan hartaku sendiri. (HR Imam al-Tirmidzi).
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa Ustman ra mewakafkan sebuah sumur untuk kaum muslimin yang sedang membutuhkan air, maka dia juga boleh memanfaatkan air sumur itu karena dia juga termasuk dalam cakupan kaum muslimin yang membutuhkan air dari sumur tersebut. Oleh karena itu, Nabi saw mengatakan: “dan timbanya diletakkan di sumur itu bersama timba kaum muslimin”. Artinya, dia bersama-sama kaum muslimin menggunakan air sumur tersebut dengan memakai timbanya atau timba kaum muslimin.
[1] al-Nawawi, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, vol. 15, 326
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 3, 526
[3] al-Nawawi, Raudhat al-Thâlibin wa ‘Umdat al-Muttaqîn, vol. 5, 317
[4] al-Nawawi, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, vol. 15, 327
[5] al-Nawawi, Raudhat al-Thâlibin wa ‘Umdat al-Muttaqîn, vol. 5, 317; Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 3, 524
[6] Ibnu Qudamah, al-Mughnî, vol. 6, 6
[7] al-Syarbini, Mughnî al-Muhtâj ‘ilâ Ma’rifah Ma’ânî Alfâzh al-Minhâj, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 526
[8] al-Nawawi, Raudhat al-Thâlibin wa ‘Umdat al-Muttaqîn, vol. 5, 317
[9] al-Nawawi, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, vol. 15, 326
[10] al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiyy wa Adillatuhu, vol. 10, 7668
[11] al-Nawawi, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, vol. 15, 327
[12] al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiyy wa Adillatuhu, vol. 10, 7668
[13] Ibnu Qudamah, al-Mughnî, vol. 6, 6