- Ketentuan tentang shighah (redaksi) wakaf.
Wakaf bisa dilakukan dengan:
- Perkataan
Orang yang berwakaf mengucapkan perkataan tentang wakaf yang dilakukan. Wakaf dengan perkataan ini dibagi menjadi dua macam:
- Perkataan yang jelas (sharih)
Yakni dengan perkataan yang bermakna wakaf secara jelas dan tidak mengandung arti selain wakaf. Contohnya, seorang berkata: “Aku wakafkan tanahku ini untuk masjid.” Begitu dia mengucapkan perkataan tersebut, wakaf telah terjadi. Harta yang diwakafkan pun telah keluar dari kepemilikannya; dan semua hukum terkait wakaf berlaku atasnya.
- Perkataan kiasan (kinayah),
Yakni dengan perkataan yang mengandung kemungkinan bermakna wakaf dan mengandung kemungkinan makna yang lain. Contohnya, seorang berkata: “Aku sedekahkan rumah ini untuk para penuntut ilmu.” Maka perkataan “Aku sedekahkan” dalam contoh di atas mengandung kemungkinan bermakna sedekah sebagaimana lafazh yang tersurat dan mengandung kemungkinan bermakna wakaf sebagaimana yang tersirat dan sebagaimana yang sering digunakan lafazh ini untuk maksud wakaf.
Untuk membedakan dua makna yang terkandung di dalamnya maka orang yang mengucapkan kalimat tersebut harus disertai niat salah satu dari dua maksud atau makna tersebut. Apabla seseorang berkata: “Aku sedekahkan” tetapi niatnya adalah mewakafkan, maka ini dihukumi sebagai wakaf. Akan tetapi jika dia berniat sedekah biasa, maka perkataannya itu dihukumi sebagai sedekah.
Mengenai shighah al-waqf (redaksi wakaf) dilihat al-mawqûf ‘alayh (pihak dituju). Jika yang peruntukannya ditujukan ‘alâ jihah ‘âmmah (untuk tujuan umum), seperti untuk orang fakir, pelayanan umum, atau masjid, maka yang ada hanya ijâb dan tidak diperlukan adanya qabûl. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.[1] Sehingga, begitu seseorang mengucapkan shighat wakaf dengan perkataan, maka wakaf tersebut dengan segala konsekuensi hukumnya langsung berlaku.
Namun jika wakaf itu ditujukan untuk orang atau jamaah tertentu, terdapat perbedaan di dalamnya. Menurut al-Hanafiyyah dan al-Hanabilah cukup ijab dan tidak diperlukan qabul. Sedangkan al-Malikiyyah dan al-Syafi’iyyah mengharuskan adanya ijab dan qabul.[2] Menurut Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, pendapat yang rajih adalah yang mensyaratkan adanya qabul. Oleh karena itu, qabul harus ada untuk melanjutkan ijab sebagaimana jual beli dan hibah.[3]
- Perbuatan
Selain dengan ucapan, berlangsungnya wakaf bisa dilakukan dengan perbuatan. Hanya saja, perbuatan itu harus disertai dengan qarînah (indikasi) yang menunjukkan adanya wakaf.[4]
Wakaf dengan perbuatan ini dilakukan dengan cara melakukan sesuatu yang bermakna wakaf. Ketika dilakukan, dianggap sebagai wakaf yang sah, walaupun dia tidak mengucapkan kata “wakaf” dengan lisannya.
Contohnya, ketika ada seseorang membangun masjid; kemudian dia membiarkan siapa saja yang shalat dalam masjid itu, maka ini sama halnya orang tersebut mewakafkan masjid yang dia bangun itu; walaupun dia tidak mengucapkan: “Tanah ini aku wakafkan untuk masjid.”
Contoh lain, misalnya ada seseorang yang menjadikan sebagian tanahnya untuk pekuburan umum. Dia juga tidak melarang siapa pun untuk menguburkan jenazah di sana. Maka perbuatan semacam ini sama halnya orang tersebut mewakafkan sebagian tanahnya di jalan Allah Swt, walaupun dia tidak mengucapkan: “Tanah ini aku wakafkan menjadi kuburan umum.”
Syarat-syarat dalam Shighah Waqf
Dalam wakaf atau shighah wakaf terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah adalah:
- Al-Ta’bîd
Al-Ta’bîd berarti harta yang diwakafkan berlaku untuk selama-lamanya dan tidak terbatas waktu tertentu. Hal ini dikarenakan makna wakaf adalah mengabadikan suatu barang dan mengalirkan manfaatnya. Sehingga orang yang mewakafkan hartanya untuk tempo tertentu, atau dalam shigah wakaf terdapat kata yang menunjukkan bahwa wakafnya hanya untuk tempo tertentu –misalnya setahun atau dua tahun–, maka wakaf seperti ini tidak sah.
Oleh karena itu, jika ada seseorang berkata: “Aku wakafkan ini untuk itu selama setahun,” maka wakaf ini tidak sah karena tidak shigah-nya fasad.[5]
- Al-Tanjîz
Al-Tanjîz berarti harta yang diwakafkan itu dapat ditunaikan ketika itu juga tanpa menggantungkan dengan syarat atau mengaitkan dengan waktu yang akan datang. Sebab, itu adalah akad (iltizam) yang mengharuskan pemindahan kepemilikan pada saat itu. Oleh karena itu tidak sah menggantungkan dengan syarat, seperti jual beli dan hibah. Ini merupakan pendapat jumhur selain al-Malikiyyah.[6]
Al-shîghah al-munjizah adalah shighah yang menunjukkan terjadinya wakaf dan konsekuensinya berlaku ketika itu. Yakni, pada waktu diucapkan.[7]
Ini berbeda halnya dengan al-shîghah al-mu’alliqah. Shighah tersebut tidak menunjukkan terjadinya wakaf pada saat diucapkan. Akan tetapi, menunjukkan pengaitan tasharruf dengan suatu perkara yang akan terjadi di masa datang.
Contohnya seseorang yang berkata “Jika Zaid datang, saya akan berwakaf.” Demikian juga perkataan, “Jika dia datang besok, awal bulan, atau jika saya bicara dengan Fulan, maka tanahku ini diwakafkan.” Semua wakaf ini batil menurut jumhur kecuali al-Malikiyyah.[8]
Dikatakan al-Syarbini, ucapan seperti itu merupakan akad yang mengharuskan pemindahan kepemilikan dalam suatu keadaan yang tidak dikuasai. Maka tidak sah menggantungkan dengan suatu syarat seperti perdagangan dan hibah.[9]
Akan tetapi jika wakaf atau shighah wakaf itu dikaitkan dengan kematian, seperti “Saya mewakafkan rumahku setelah kematianku kepada orang fakir,” maka wakafnya sah.[10] Hal itu disebabkan karena wakaf seperti termasuk dalam katagori wasiat.[11] Menurut al-Zuhaili, kebolehan menggantungkan wakaf dengan kematian merupakan perkara yang telah disepakati.[12]
Wakaf yang digantungkan dengan kematian itu bersifat lâzim, yakni mengikat sejak diucapkan. Sehingga jika ada seseorang berkata, “Ini diwakafkan setelah kematianku,” maka ketika meninggal harus dilaksanakan tanpa memerlukan persetujuan ahli waris. Ini berlaku selama harta yang diwakafkan kurang dari sepertiga.[13]
- Al-Ilzâm
Al-Ilzam berarti tidak ada khiyar. Wakaf yang sudah diucapkan harus dijalankan dan tidak bisa dibatalkan. Hal ini disebabkan karena seseorang yang telah mewakafkan sebagian hartanya bermaksud mengeluarkan harta tersebut dari kepemilikannya dan mengabadikannya demi mendapat pahala dari Allah Swt.
Di samping itu, Rasulullah saw juga telah menegaskan bahwa orang yang telah mewakafkan hartanya tidak boleh menjual, menghibahkan, dan mewariskan kepada ahli warisnya sebagaimana hadits yang telah disebutkan di muka.
Oleh katena itu, tidak sah mengaitkan wakaf dengan syarat khiyar atau khiyar syarat, baik ma’lûm maupun majhûl; bahwa dia mewakafkan sesuatu dengan mensyaratkan itu untuk dirinya atau untuk orang lain dengan syarat bisa kembali kepadanya kapan pun dia mau, dan membatalkan wakaf seperti hibah dan membebaskan budak.[14]
Sehingga, sebagaimana dikatakan Imam al-Khathib al-Syarabini, jika ada seseorang berkata, “Saya mewakafkan ini untuk itu” dan disertai dengan adanya syarat khiyar bagi dirinya: Apakah tetap melanjutkan berwakaf atau membatalkannya kapan pun dia kehendaki; atau mensyaratkan hal itu kepada orang lain; atau mensyaratkan untuk dikembalikan kepadanya dengan cara dijual lagi kepadanya; atau mensyaratkan siapa pun bisa masuk atau keluar, maka semua itu tidak sah.[15]
- Tidak disertai dengan syarat yang batil
Menetapkan syarat tertentu dalam wakaf diperbolehkan. Ini karena Rasulullah saw bersabda:
الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ
Orang muslim tergantung persyaratannya (HR Bukhari).
Hanya saja, syarat yang ditetapkan itu tidak boleh bertentangan hukum syara’. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Perjanjian damai itu dibolehkan sesama kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, orang muslim menurut persyaratannya, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR Tirmidzi)
Dari Aisyah ra berkata, Rasulullah saw bersabda:
مَا بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَن ِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ
Mengapa manusia membuat syarat yang tidak tercantum di dalam Kitab Allah. Barangsiapa yang membuat syarat yang tidak ada di dalam kitab Allah, ia adalah bathil, sekalipun dengan seratus syarat. Syarat Allah lebih berhak (untuk ditaati) dan lebih diipercaya (HR Bukhari).
Dengan demikian, wakaf atau shighah wakaf tidak boleh ada syarat yang batil.[16] Syarat batil adalah syarat yang menyelisihi sahnya wakaf atau membatalkan wakaf tersebut.
Contohnya, seseorang berkata: “Aku wakafkan rumahku ini untuk orang fakir miskin dengan syarat setelah berlalu setahun rumah itu kembali lagi menjadi milikku”. Wakaf tersebut tidak sah dikarenakan adanya syarat yang membatalkan wakaf itu sendiri. Di samping itu, syara’ telah menetapkan bahwa harta wakaf tidak boleh dijual, diberikan, diwarisi, atau dimiliki kembali oleh orang yang berwakaf.
- Bayân al-Mashrif
Dalam berwakaf, harta yang diwakafkan harus jelas peruntukannya. Seandainya seorang yang berwakaf hanya berkata, “Saya wakafkan ini,” dan tidak menjelaskan peruntukannya, maka wakaf itu tidak sah. Sebab, tidak disebutkannya peruntukannya. Namun jika kalimat tersebut dilanjutkan dengan kalimat berikutnya, “Saya wakafkan ini untuk masjid,” maka ucapan itu sudah cukup dan diperuntukannya sesuai dengan kemaslahatannya menurut jumhur.[17]
[1] al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiyy wa Adillatuhu, vol. 10, 7652
[2] al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiyy wa Adillatuhu, vol. 10, 7652
[3] Abu Bakar al-Husaini, Kifâyah al-Akhyâr, 305
[4] Ibnu Qudamah, al-Mughnî, vol. 6, 6; Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 3, 521
[5] Syamsuddin al-Syarbini, al-Iqnâ’ fî Hall Alfâzh Abi Syujâ’, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 362
[6] al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiyy wa Adillatuhu, vol. 10, 7658
[7] al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiyy wa Adillatuhu, vol. 10, 7658
[8] al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiyy wa Adillatuhu, vol. 10, 7658
[9] al-Syarbini, al-Iqnâ’ fî Hall Alfâzh Abi Syujâ’, vol. 2, 362
[10] al-Syarbini, al-Iqnâ’ fî Hall Alfâzh Abi Syujâ’, vol. 2, 362
[11] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 3, 522
[12] al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiyy wa Adillatuhu, vol. 10, 7658
[13] al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiyy wa Adillatuhu, vol. 10, 7659
[14] al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiyy wa Adillatuhu, vol. 10, 7660
[15] al-Syarbini, al-Iqnâ’ fî Hall Alfâzh Abi Syujâ’, vol. 2, 362
[16] al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiyy wa Adillatuhu, vol. 10, 7660
[17] al-Syarbini, al-Iqnâ’ fî Hall Alfâzh Abi Syujâ’, vol. 2, 362