Langsung saja, dalil wakaf di dalam Al-Quran yang dimaksud yaitu Surat Ali Imran ayat 92. Banyak ulama berpendapat, ayat ini turun sebagai ujian keimanan bagi kaum muslimin saat itu (which means Para Sahabat Nabi ra.)
Dengan dalil wakaf di dalam al-Quran itu Allah meminta mereka lebih membuktikan keimanannya dengan memberikan yang terbaik kepada agama. Ayatnya yakni:
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ
“Kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan kebajikan yang sempurna sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran [3]: 92)
Asal-mula penerapan dalil wakaf di dalam al-Quran
Perhatikan ayat di atas sekali lagi, pasti yang kamu kira penggalan ayat yang menginspirasi para Sahabat Nabi berwakaf adalah kata “وَمَا تُنفِقُواْ (wama tunfiqu)”, ya kan?
Kami juga menduga begitu pada awalnya. Rupanya, bukan kata itu yang menggerakkan para sahabat berwakaf. Ternyata justru kata “ٱلۡبِرَّ (al-Birru)”.
Secara tersurat, ٱلۡبِرَّ (al-Birru) berarti “kebajikan yang sempurna”. Namun ternyata secara tersirat, para Sahabat menangkap maksud ayatnya itu sebenarnya adalah ‘surga’.
Pantas saja Sahabat Zaid bin Sahl al-Anshori ra. lekas berwakaf setelah mendengar ayat ini. Begitulah yang ditulis di dalam kitab hadis karangan Imam Bukhari dan Imam Muslim di bawah.
Anak tiri Zaid bin Sahl, Anas bin Malik ra., telah menceritakan kisah ayahnya mewakafkan harta paling berharganya, yakni Kebun Bairuha’:

“Abu Thalhah [julukan Zaid bin Sahl] adalah seorang Anshar yang memiliki banyak harta di kota Madinah berupa kebun-kebun kurma. (Di antara kebun-kebun itu,) ada satu kebun yang paling dicintainya yang dinamakannya Kebun Bairuha’.
Kebun ini membentang di depan Masjid Nabawi. Tak ayal Rasulullah sering healing ke sini di sela-sela kesibukannya.”
Lanjut Anas bin Malik ra.,
“(Suatu hari,) Rasulullah masuk ke dalam kebun guna meminum airnya yang sangat segar. Kala itu ayat [baca: Ali Imran ayat 92] belum lama turun.
(Mendengar Rasul sedang singgah di kebunnya,) Abu Thalhah segera menyusul Sang Nabi hendak menanyakan kebenaran ayat tersebut, karena ia kebetulan sedang tidak berada di sekeliling Nabi Muhammad saat ayatnya diturunkan.
Bertanyalah Abu Thalhah:
‘Wahai Rasulullah, (aku belum lama mendengar) Allah memfirmankan [lalu ia membacakan Surat Ali Imron ayat 92].’
Melihat Rasul tidak mengoreksi bacaannya, ia segera mempersusulkan pertanyaannya tadi dengan pernyataan maksud kedatangannya.
‘Sungguh, harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha’. Sungguh, (mulai hari ini) aku sedekahkan kebun ini karena aku mengharapkan pahala dari Allah, lalu disimpankannya pahala itu untukku di akhirat kelak.
Oleh karena itu, aturlah kebun ini sebagaimana petunjuk Allah kepada engkau.’
Balasan Rasulullah
Ternyata, balasan Rasulullah atas maksud Abu Tholhah di luar perkiraan. Pertama, beliau membalasnya dengan memperlihatkan kesenangan beliau akan iktikad baik sahabatnya barusan.
Ujar beliau,
‘Wahh (pemberianmu) ini benar-benar harta yang sangat menguntungkan, benar-benar harta yang sangat menguntungkan! Aku telah mendengar maksudmu menemuiku barusan’
Namun, biarpun balasan beliau tadi terasa suasana batinnya yang sedang gembira, dirinya akan menolak pemberian sahabatnya itu.

Kalimat penolakan beliau,
Biarpun begitu, hendaknya engkau sedekahkan tanahmu itu untuk kerabatmu.’ (HR. Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998)
Rupa-rupanya, Rasul menolak pemberiannya dengan halus sebab sedang mengajarkan kepada kita untuk berbagi rezeki kepada keluarga dahulu.
Bak prajurit dengan komandannya, Sahabat Abu Thalhah segera memberikan Bairuha’ kepada kerabatnya.
Rukun wakaf dari kisah penerapan dalil berwakaf di atas
Tindakan mulia Abu Tholhah di atas, yang kemudian dilanjutkan oleh Sahabat-sahabat Rasul lainnya hingga hari ini, itulah yang dinamakan wakaf.
Para ulama membedakan pembahasan wakaf dari sedekah/ infaq berkaca dari tindakan beliau. Darinya lah dirumuskan rukun wakaf, alias ihwal yang harus ada di dalam transaksi wakaf.
Keempatnya itu yakni:
1. Wakif
Wakif ialah julukan kepada si pemberi harta wakaf (mauquf). Seseorang yang ingin berwakaf haruslah seorang muslim yang telah dewasa (baligh), yang berakal sehat, dan yang secara sah memiliki mauquf.
2. Mauquf
Adapun maukuf haruslah harta halal yang telah dilunasi wakif sehingga penerimanya (mustahik) tidak perlu membayar utang-piutang maukuf di kemudian hari.
Harta yang telah dijadikan maukuf maka status kepemilikannya telah berubah dari yang semula dimiliki wakif menjadi milik Allah swt., yang kemudian Allah izinkan mustahik memanfaatkan maukufnya.
Makanya, maukuf tidak boleh lagi ditarik kembali oleh wakif pun ahli warisnya.
3. Mustahik/Mauquf alaih
Mustahik haruslah seorang dewasa (baligh) yang berakal sehat saat serah-terima maukuf (sigat). Bedanya dengan wakif, mustahik tidak wajib seorang muslim.
Mustahik juga tidak harus perorangan. Akan tetapi, saat sigat harus ada seorang/ beberapa orang dewasa yang mewakili kumpulan para mustahik.
Misalnya, ketika mustahikmu adalah penduduk Desa Terang di Nusa Tenggara Timur (NTT) sana, nantinya penerima wakaf air bersihmu ialah kepala pemerintahan setempat selaku perwakilan mereka.
4. Sigat
Dan rukun terakhir adalah sigat. Sigat bermakna “ikrar/ wakaf berwakaf yang berisi ketentuan-ketentuan/ ruang lingkup wakaf yang sama-sama disetujui oleh wakif dan mustahik”.
Sigat bisa dalam bentuk lisan maupun tulisan. Jika maukufnya bernilai mahal seperti tanah, kebun, atau yang sejenisnya, akan lebih baik jika sigatnya dicetak ke atas kertas,
lalu meminta KUA (kantor urusan agama) yang terdekat dari mustahik untuk melegalkan sigatnya. Dengan begini nantinya maukuf tidak dapat lagi dipersengketakan oleh ahli waris wakif.
Cuman, jika sigat tertulis dirasa berlebihan saat maukufnya bukan barang mahal (semisal berwakaf mushaf al-Quran), justru sigat lisan akan terasa lebih pas.
Oleh karenanya, jika kamu mewakafkan mushaf al-Quran ke Pulau Papua, kamu tidak perlu datang ke KUA sana.
Cukup dengan mengklik tautan di bawah lalu mengikuti semua intruksinya, kamu berhasil berwakaf tanpa perlu bangkit dari tempat tidur:
Bayangkan, dengan cara semudah itu kamu sudah mulai menabung pahala jariyah, insya Allah.