Banyak muslim yang tahu apa itu wakaf. Akan tetapi, banyak dari kita yang terdiam seribu bahasa kala ditanya “dimana letak dalil wakaf di dalam Al-Quran?”
Mentok-mentok dalil wakaf yang kita tahu paling hadits sedekah jariyah. Tapi, kan itu bukan ayat Quran.
Untuk mengetahui posisi peletakan ayat Quran yang menganjurkan berwakaf di bawah, sebelum itu akan kami paparkan dulu rukunnya biar jangan sampai amalan wakaf kita tidak bernilai pahala jariyah.
Rukun Wakaf

Kita mulai dari maknanya dulu ya. Rukun berakar dari kata “رُكْنٌ /ruknu” yang berarti “tiang penopang”. Makanya menjadi tidak mengherankan mengapa rukun bermakna “suatu kondisi / tindakan yang wajib diadakan sebab hal itu akan menjadi tolak ukur keabsahan suatu perbuatan”.
Alias, rukun adalah nama lainnya fardhu (Ushul Fiqh Edisi Pertama: 2017).
Statusnya yang fardhu ini yang membuat keempat rukun wakaf di bawah harus dihadirkan semua saat transaksi wakaf akan berlangsung. Keempatnya itu yakni:
1. Wakif (pewakaf)
Di dalam Islam, tidak semua orang bisa menjadi wakif. Untuk menjadi wakif, dirinya haruslah beragama Islam, telah menginjak usia dewasa dalam Islam (baligh), berakal sehat, dan pemilik sah dari harta yang akan diwakafkan (mauquf).
2. Mauquf (harta yang diwakafkan)
Di dalam Islam juga tidak semua barang /harta dapat di-mauquf-kan. Agar bisa diwakafkan, harta tersebut haruslah harta yang halal, terbebas dari segala tunggakan, dan berusia pakai lebih dari setahun.
Makanya makanan /minuman tidak bisa menjadi mauquf. Begitupula kendaraan yang mesih dikredit.
Oleh karena itu selaku calon wakif janganlah memberikan barang yang memberatkan mustahik untuk merawatnya.
3. Mustahik /Mauquf ‘alaih (penerima manfaat)
Kalau mustahik dalam Islam syaratnya tidaklah seberat wakif.. Malahan, benda mati pun bisa menjadi mustahik. Seperti yang terjadi pada foto di bawah.

Mustahik di atas kurang tepat jika dialamatkan kepada adik-adik di atas. Sejatinya, mustahiknya itu muslim/ah Papua Selatan yang telah diwakilkan pejabat-pejabat Papua Selatan beberapa hari sebelumnya.
Iya, biarpun diperbolehkan berwakaf atas nama daerah, namun perwakilan penerimanya haruslah orang dewasa yang berakal sehat.
4. Sighah (lafal atau akad wakaf)
Dan terakhir, sighah. Sighah dapat dilisankan maupun dituliskan. Sighah tulis bermanfaat saat mauqufnya bernilai ekonomis sangat mahal. Misalnya tanah, gedung, kendaraan bermotor, dll.
Dengan menuliskan sighah lalu dilegalkan di KUA (Kantor Urusan Agama) terdekat dari mustahik, maka perampasan mauquf di kemudian hari hampir bisa dipastikan tidak akan terjadi.
Pun sebaliknya, sighah lisan pun bermanfaat. Manfaatnya terasa ketika mauqufnya berupa barang yang nilai ekonomisnya hampir tidak ada, semisal mushaf Al-Quran,
akan sangat memberatkan wakif jika dirinya harus terbang ke KUA di Papua untuk melegalkan sighahnya.
Justru akan lebih ringan jika sighahnya sesederhana berwakaf Al-Quran ke Papua lewat kami Badan Wakaf Al-Quran (BWA) di bawah:
Dalil wakaf di dalam Al-Quran
Kesemua rukun di atas disarikan dari contoh-contoh para Sahabat Nabi berwakaf. Salah satu yang paling terkenal kisahnya ialah saat Sahabat Zaid bin Sahl al-Anshori ra. mewakafkan kebun kurmanya.
Untuk itu mari kita lihat sendiri kisah kejadiannya berdasarkan kesaksian imam-imam hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim di bawah.
Dalil wakaf penuturan Anas bin Malik ra.
Ia adalah anak tirinya Zaid bin Sahl al-Anshari ra. Ia memulai ceritanya dengan latar belakang ayah tirinya tersebut.
““Abu Thalhah (Zaid bin Sahl al-Anshori) adalah orang Anshar yang memiliki banyak harta di kota Madinah berupa kebun kurma. Ada (satu) kebun yang paling dicintainya yang dinamakan Bairuha’.
Kebun tersebut berada di depan masjid (Nabawi). Rasulullah saw. terkadang mengunjungi kebun itu untuk meminum airnya yang begitu segar.”

Lanjut Anas, “(Mendengar Rasul sedang berkunjung ke kebunnya,) Abu Thalhah bergegas menjumpai Rasulullah saw. Sesampainya di sana, ia mengutarakan maksudnya sebagai berikut:
“Wahai Rasulullah, Allah telah berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran [3]: 92),
“Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’. Sungguh, aku wakafkan kebun ini dengan mengharap pahala dari Allah dan dijadikan-Nya simpananku di akhirat kelak.
(Mohon) aturlah kebun ini sesuai petunjuk Allah kepadamu.”
Mendengar wakaf sahabatnya tadi, menurut Anas, Rasulullah terlihat gembira mendengarnya. Akan tetapi, ternyata beliau saw. sebenernya tidak mau menerima wakaf ayah tirinya barusan.
“Wauw, betapa beruntungnya mendapatkan kebun ini! Benar-benar sebuah keberuntungan!” tanggap Rasul dengan gembira.
Setelahnya baru Rasul sambungkan dengan alasan penolaknnya, yakni karena:
“Aku memang telah mendengar pemberianmu barusan. Namun menurutku, hendaknya tanahmu ini engkau sedekahkan untuk kerabatmu.” (HR. Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998).
Rupanya, Rasul hendak mengajarkan kita bahwasanya sedekah, infaq, zakat, dan wakaf kita lebih utama diberikan kepada keluarga dekat dan jauh dahulu dibandingkan kepada yang di luar keluarga.
Benar saja, setelah mendengar saran dari sahabat sekaligus panutan hidupnya di atas, Sahabat Abu Tholhah lantas mewakafkan Kebun Bairuha’ untuk sanak familinya.
Kini, saatnya mengamalkan wakaf versi kita sendiri
Setelah mengerti rukun, dalil, dan asal-muasal wakaf, kini saatnya kita beramal wakaf juga.
Ingatlah nasihat nabi kita di atas, kita mulai berwakaf dari keluarga inti kita dahulu (ayah /ibu /saudara/i /anak sendiri), baru setelahnya ke orang-orang terdekat kita.
Nantinya, ketika tidak ditemukan lagi lingkaran (circle) terdalam kita yang perlu diwakafkan, mungkin kini saatnya kamu berwakaf al-Quran ke Papua 🙂