Di sebuah majelis taklim khusus Muslimah. Di suatu kampung. Seorang ibu pimpinan jamaah pengajian ibu-ibu mengedarkan kotak infak kepada jamaahnya. Tak lupa ia berkata, ”Ibu-ibu, silakan kalau ada yang mau sedekah untuk anak yatim. Seikhlasnya. Tidak apa-apa seribu dua ribu rupiah juga.”
[/et_pb_text][/et_pb_column][/et_pb_row][et_pb_row custom_padding=”5px|10px|5px|10px” _builder_version=”3.0.106″ border_radii=”on|5px|5px|5px|5px”][et_pb_column type=”4_4″][et_pb_text _builder_version=”3.0.106″ text_font=”Abhaya Libre|600|||||||” text_font_size=”15px”]
Apa yang dikatakan oleh ibu pimpinan majelis taklim di atas atau ungkapan yang senada tentu sudah biasa kita dengar. Ya, Dalam pikiran banyak orang, ikhlas seolah identik dengan beramal alakadarnya. Beramal apa adanya. Ikhlas akhirnya identik dengan sikap minimalis dalam beramal.
Padahal ikhlas sering didefinisikan oleh para ulama dengan: beramal semata-mata karena dan untuk Allah SWT. Karena itu ikhlas sesungguhnya bukan sekadar tidak riya’ atau sumah, tetapi mengandung konsekuensi yang lebih dari itu.
Ketika Anda ikhlas dalam beramal, berarti Anda harus benar-benar menunjukkan bahwa amal Anda semata-mata dipersembahkan hanya untuk Allah SWT. Bukan untuk selain-Nya.
Pertanyaannya: Apakah sesuatu yang dipersembahkan hanya untuk Allah SWT itu cukup yang biasa-biasa saja atau minimalis? Tentu tidak. Sesuatu yang dipersembahkan khusus untuk Allah SWT itu sejatinya harus yang berkualitas, istimewa dan optimal.
Ketika seseorang mempersembahkan sesuatu hanya khusus bagi orang yang ia cintai, ia tentu akan mempersembahkan yang terbaik dan istimewa untuk dia. Bukan yang biasa-biasa saja. Apalagi yang berkualitas buruk.
Demikian pula seseorang yang ikhlas. Ia akan mempersembahkan amalan terbaik dan istimewa hanya untuk Allah SWT. Karena itu shalatnya pastilah shalat terbaik. Yang paling tertib syarat dan rukunnya. Yang paling tu’maninah. Tentu juga yang paling khusyuk. Shaumnya pasti shaum yang bisa mewujudkan takwa dalam dirinya. Bukan sekadar menahan lapar dan dahaga saja. Sedekahnya pasti sedekah yang paling banyak. Bukan yang paling sedikit. Demikian seterusnya.
Karena itu tak ikhlas namanya jika orang bersedekah, misalnya, cuma seribu atau sepuluh ribu rupiah. Padahal ia masih memiliki uang ratusan ribu rupiah di dompetnya.
Dalam bersedekah, selayaknya kita mencontoh keikhlasan Imam al-Laits bin Saad. Beliau biasa bersedekah setiap hari untuk 300 fakir miskin. Beliau pun gemar bersedekah ribuan dinar (miliaran rupiah) kepada puluhan ulama setiap tahun. Salah satunya Imam Malik yang rutin menerima hadiah sebanyak 100 dinar (sekitar Rp 200 juta) dari Imam al-Layts (Al-Jami fi Rasail ad-Dawiyyah, 128-129).
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita benar-benar ikhlas dalam seluruh amalan selama ini? Jika belum, mulailah dari sekarang. Selain itu, agar kita bisa selalu ikhlas, marilah kita biasakan berdoa dengan doa Umar bin al-Khaththab ra., “Ya Allah, jadikanlah amalku salih, dan jadikanlah ia ikhlas semata-mata karena Wajah-Mu.” (Fauzi Sinuqarth, At-Taqarrub ilalLah, hlm. 11).
Wa mâ tawfîqi illâ billâh. []
#InspirasiBWA
[/et_pb_text][/et_pb_column][/et_pb_row][/et_pb_section]