Dia menerangi desa dalam arti sebenarnya. Bersama suaminya, Iskandar Budisaroso Kuntoadji, Tri Mumpuni Wiyatno membangun pembangkit listrik mini bertenaga air. Sudah 60 lokasi mereka terangi dengan listrik.
Ide awal pembangunan PLTMH berawal dari seringnya Ibu Tri Mumpuni bersama suami berkeliling ke desa-desa dan melihat sumber air yang melimpah namum belum ada kabel distribusi listrik dilokasi tersebut. Kemudian kita bicarakan kepada Kepala Desa setempat kemungkinan untuk membangun pembangkit listrik dengan memanfaatkan aliran sungai untuk menghasilkan listrik dari sebuah turbin.
“Listrik bukan tujuan utama kami, melainkan membangun potensi desa supaya mereka berdaya secara ekonomi,” kata Tri Mumpuni atau biasa dipanggil Puni.
Karena itu, meskipun telah melistriki banyak tempat, Puni yang menjadi Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka), lembaga swadaya yang dia dirikan bersama Iskandar pada 17 Agustus 1992, terus mengembangkan end use productivity, yaitu bagaimana masyarakat desa setelah memiliki listrik menggunakan listrik itu untuk kegiatan produktif sesuai potensi desa.
Penghasilan desa dari PLTMH yang umumnya dikelola melalui koperasi ini bervariasi, bahkan hingga mencapai puluhan juta rupiah per bulannya. Tak heran bila sebuah desa yang memiliki PLTMH dapat memberikan beasiswa kepada warganya.
Masyarakat Desa Cicadas, Subang, misalnya, selain dapat membangun infrastruktur desanya juga dapat menikmati siaran radio milik mereka sendiri, berkat pemasukan dari PLTMH ini.
Tri Mumpuni mengakui tak pernah mendapatkan bantuan sepeser pun dari pemerintah. Ia menjelaskan, peraturan yang ada tidak memungkinkan pemerintah mengalokasikan dana pada kegiatan sosial yang dia lakukan selama ini. Dia hanya mengandalkan donatur dan partisipasi masyarakat.
Kehadiran Tri Mumpuni dengan PLTMH-nya tentu menjawab kebutuhan nasional akan sumber energi terbarukan. Masyarakat pun terbantu, tak hanya desanya kini menjadi terang namun mereka pun terangkat dari sisi kesejahteraan ekonominya.
Di Indonesia, 30.000 lebih desa belum terlistriki, sementara Ibeka hanya mampu mengerjakan 5 sampai 10 desa saja per tahunnya. Tri mengharapkan PLTMH berbasis masyarakat yang digagasnya dapat diduplikasi sebanyak-banyaknya.
“Yang penting jangan lupa aspek sosialnya, karena teknologi bisa masuk bila masyarakatnya secara sosial sudah siap,” ujar Tri tegas. [bwa/dari berbagai sumber]