Dalam kesempatan ini, penulis berniat untuk Tujuan menjelajahi wakaf dalam praktik dengan memahami konsep-sejarah isu wakaf. penulis menggunakan data sekunder dari buku, jurnal, proses, dan aturan pemerintah. Ditemukan bahwa wakaf bisa menjadi instrumen yang efektif untuk mendukung pembangunan sosial. Fungsi sosial untuk pengentasan kemiskinan, mendorong kewirausahaan, dan meningkatkan pendidikan. Bagi institusi wakaf, administrasi dan pemerintahan komprehensif sangat penting bagi keberlanjutan mereka.
Apa itu wakaf?
Wakaf memiliki sifat pengelolaan dana dengan manfaat yang diperoleh tanpa batas waktu. penulis bertujuan untuk memperlihatkan peran wakaf dalam meningkatkan kondisi sosial masyarakat.
Penulis membagi menjadi 3 bagian:
- Pertama, menggambarkan penggunaan wakaf secara historis.
- Kedua, identifikasikan isu-isu yang berhubungan dengan manfaat wakaf untuk tujuan sosial.
- Ketiga, adalah sintesis temuan yang diperoleh untuk membentuk struktur wakaf.
Dampak Wakaf pada masyarakat Sosial
Untuk mengidentifikasi masalah, penulis menggunakan data sekunder dari literatur. kami memaparkan konsep-sejarah wakaf dan isu wakaf untuk fungsi sosial di Indonesia. Struktur wakaf sosial yang jelas disintesis dari analisis dan tinjauan pustaka.
Konsep -Sejarah Wakaf
Wakaf adalah salah satu bentuk sedekah dalam Islam.
Wakaf artinya memegang harta dan melestarikannya untuk keuntungan tertentu dengan syarat dan ketentuan tertentu yang digunakan.
Dari sudut pandang ekonomi, (Ambrose, Hassan, & Hanafi, 2018) menyatakan bahwa wakaf merupakan upaya untuk mengalihkan dana dan sumber daya lainnya dari kebutuhan konsumsi menjadi investasi dalam bentuk aset produktif yang memberikan pendapatan di masa depan.
Berbeda dengan sedekah, benda wakaf tidak bisa dijual, diwariskan, atau diberikan sebagai hadiah. Ciri ini oleh (Mohsin, 2013) diistilahkan bahwa wakaf tidak dapat dibatalkan dan permanen. Tidak dapat dibatalkan artinya benda wakaf bersifat permanen, tidak dapat dijual, diwariskan atau dihadiahkan. Permanen artinya objek wakaf harus seluruhnya (penuh), tidak dihancurkan dan dihentikan dengan sengaja. Namun ketentuan ini tidak kaku dalam penerapannya. Wakaf yang bersifat sementara dibolehkan jika pemberi wakaf menyatakan bahawa tujuan wakaf tersebut bersifat sementara (Kahf, 2014).
Dalam pernyataan ini, Ambrose et al. (2018) memberikan contoh wakaf dapat berupa saham, obligasi, sukuk, dan manfaat dari instrumen keuangan tersebut dengan syarat sesuai dengan kegiatan usaha syariah. Namun jika tujuannya tidak diketahui atau tidak disebutkan dengan jelas, maka menurut fiqh wakaf harus disediakan untuk orang miskin (Kahf, 2014). Maka tujuan wakaf harus diketahui dengan pasti untuk menghilangkan keraguan tentang penggunaan wakaf.
Ambrose et al. (2018) menjelaskan bahwa sejarah wakaf berupa barang sudah banyak dilakukan, sejak adanya Nabi Muhammad SAW yang merubah harta mukhairiq menjadi wakaf untuk membiayai pertahanan.
Utsman bin Affan yang membeli sumur sebagai sumber air untuk seluruh warganya secara gratis di Madinah. Pada masa Umayyah jumlah harta wakaf meningkat dan sebagian besar digunakan untuk keperluan pendidikan melalui pembangunan sekolah dan perpustakaan, gaji guru, dan pemberian beasiswa bagi siswa. Pada masa Abbasiyah, wakaf digunakan untuk meningkatkan kesehatan, pendidikan, pertanian, perumahan, pengawetan hewan, perkawinan, farmasi, dan pelayanan pelatihan dokter baru. Fenomena ini menunjukkan bahwa struktur wakaf bersifat fleksibel. Selama periode Ayyubiyah, adopsi wakaf semakin besar dan mencapai puncaknya selama Kekaisaran Ottoman.
Wakaf digunakan untuk pendidikan, kesuburan, distribusi toko, pertanahan kota, air gratis, dan penciptaan lapangan kerja. Pendapatan dari wakaf sama dengan sepertiga dari total pendapatan tahunan. Maka tidak heran jika wakaf digolongkan sebagai treasury fund setelah pajak.
Pada pertengahan abad ke-19, sistem wakaf mulai runtuh karena tiga alasan. Pertama, alasan politik. Prancis dan Rusia ikut campur dalam politik internal Kekaisaran Ottoman dan tekanan berlebihan dari perbankan Eropa untuk mengubah sistem wakaf dari sistem desentralisasi dan otonom menjadi sistem terpusat. Wakaf terpusat segera menyebabkan tumbuhnya eksploitasi material dan korupsi. Kedua, kelemahan struktural dalam penggunaan wakaf. Wakaf dinilai belum cukup mampu beradaptasi dengan industrialisasi.
Ketiga, wakaf tunai lebih banyak digunakan untuk pembiayaan konsumtif sehingga keuntungannya kecil. Pinjaman ini diklasifikasikan sebagai transaksi riba. Sejarah menunjukkan bahwa wakaf pernah mengalami kemuliaan, namun karena kurangnya kearifan dalam pembagian wakaf, wakaf tersebut ambruk. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sistem wakaf masih memungkinkan untuk direvitalisasi dengan memperhatikan kelebihan manfaat yang diperoleh dan ketentuan syariah.
Wakaf Untuk Fungsi Sosial
Penerapan wakaf di Indonesia dalam perkembangan yang cukup signifikan. Institusi pendidikan yang didanai oleh wakaf, salah satu contohnya adalah Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.
Wakaf di pondok ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat dari segala sisi, yaitu pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Penerapan wakaf ini membuat masyarakat yang terlibat menjadi mandiri dan bertanggung jawab. Lembaga otonom lain yang pernah menjalankan wakaf adalah Dompet Dhuafa Republika. Lembaga ini memberikan pelayanan kesehatan dengan fasilitas permanen bagi masyarakat miskin secara gratis selama 24 jam.
Wakaf Uang
Pemberdayaan masyarakat lebih mudah menggunakan wakaf tunai. Wakaf tunai lebih mudah diproses daripada wakaf bergerak atau tidak bergerak (seperti sekolah dan rumah sakit). Selain itu, wakaf tunai bisa dilakukan oleh berbagai kalangan. Seseorang dapat melakukan wakaf uang sebesar Rp. 100.000. Wakaf dapat dikumpulkan bersama dan dikelola secara produktif dan bertanggung jawab.
Jumlah umat Islam di Indonesia merupakan aset terbesar untuk menghimpun dana dan mengembangkan dana wakaf. Dalam sistem pengelolaan wakaf tunai hampir mirip dengan wakaf barang bergerak (Arif, 2012). Nilai nominal uang yang diinvestasikan tidak boleh dikurangi dan pengembalian investasi dialokasikan ke Nazir (maksimal 10%) dan kesejahteraan masyarakat (minimal 90%). Saat ini, bank syariah bermitra dengan Nazhir dalam pengelolaan dana wakaf.
Wakaf Tunai memiliki efek ganda. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Hasil investasi kepada masyarakat (mauquf` alaih) sebesar 90% dialokasikan untuk dua sektor, ekonomi dan non-ekonomi (sosial dan pendidikan). Hasil wakaf untuk sektor ekonomi merupakan dana tunai yang dapat digunakan untuk moda tambahan peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas secara tidak langsung juga akan meningkatkan pembangunan nasional.
Padahal penyaluran wakaf untuk sektor non ekonomi akan meningkatkan kualitas manusia yang mampu memberikan kontribusi bagi kesejahteraan bangsa. Selain itu, wakaf sektor non ekonomi lainnya seperti distribusi konsumtif dapat meningkatkan daya beli masyarakat yang berdampak pada belanja nasional.
Dari uraian di atas, wakaf uang memiliki pengaruh ganda terhadap perekonomian yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semakin besar jumlah wakaf uang maka semakin besar pula peluang rakyat Indonesia untuk sejahtera. Donna (2007) menyatakan bahwa wakaf tunai juga dapat digunakan melalui lembaga keuangan dengan transaksi muamalah.
Transaksi bisa dalam bentuk mudharabah dan ijarah. Keuntungan dari bagi hasil dan sewa dapat digunakan untuk tujuan produktif atau konsumsi masyarakat miskin lainnya. Mudharabah adalah skema koperasi, salah satu pihak menyumbang dana dan pihak lain sebagai pengelola dana wakaf. Sedangkan ijarah adalah pengalihan manfaat suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa.
Dana wakaf dapat digunakan untuk memfasilitasi masyarakat miskin agar mendapatkan manfaat barang produktif untuk kebutuhan sehari-hari.
Wakaf Produktif
Salah satu contoh wakaf produktif adalah wakaf berupa tanah.
Pada umumnya wakaf tanah digunakan untuk keperluan sosial dan ibadah, seperti tanah yang digunakan untuk masjid.
Al-hadi (2009) menjelaskan bahwa wakaf tanah berupa masjid yang tidak diproduksi akan menjadi beban bagi pengelola masjid.
Kebutuhan pembiayaan masjid seperti listrik, air, PAM, dan biaya perawatan tidak dapat terpenuhi jika hanya mengandalkan kotak zakat setiap bulan.
Pembiayaan masjid baru bisa dipenuhi sekitar 30-40% dari total kebutuhan. Alhasil, masjid hanya berfungsi sebagai tempat ibadah dan tempat belajar anak-anak.
Kondisi ini membatasi peran masjid untuk kepentingan Islam.
Masjid perlu diberdayakan untuk dapat memenuhi fungsi sosialnya, seperti mengikuti pendidikan Islam, memberikan manfaat kepada anak yatim sekitar, dan yang terpenting mampu membiayai kebutuhan operasional setiap bulan.
Salah satunya dengan memberdayakan lahan yang sesuai dengan ekonomi Islam, dengan menawarkan investasi lahan produktif.
Tanah wakaf selain masjid juga bisa untuk investasi produktif seperti untuk rumah sakit syariah, lembaga keuangan syariah, minimarket, atau jasa lainnya.
Manfaat ekonomi yang diperoleh mencapai 200-300% dibandingkan dengan kondisi awal lahan tanpa produktivitas.
Tanah wakaf produktif akhirnya mampu memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar.
Selain bisa melunasi kebutuhan operasional bulanan, dana hasil wakaf tanah bisa digunakan untuk dakwaan lain, pemberian beasiswa, santunan buruk, dan pemberian modal usaha kecil.
Penerapan wakaf merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial individu terhadap masyarakat.
Potensi wakaf dengan jumlah penduduk muslim terbesar merupakan sumber penghasilan tambahan selain pajak.
Wakaf bisa berupa uang tunai, barang bergerak, atau tidak bergerak.
Keduanya membutuhkan profesionalisme dalam pengelolaannya sehingga dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan pembangunan nasional.
Landasan Syariah Soal Wakaf
Jika di atas penulis menjabarkan wakaf melalui kajian literatur saintis, kini penulis mencoba untuk mengutip salah satu hadits Nabi Muhammad (Shallallahu Alaihi Wa Sallam) yang shahih.
hadits yang membicarakan wakaf. Dari hadits ini akan dibuktikan bahwa wakaf bisa saja dari harta milik yang bergerak seperti senjata, baju
Hadits ini kami kutip dari kitab Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ : – بَعَثَ رَسُولُ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عُمَرَ عَلَى اَلصَّدَقَةِ . . – اَلْحَدِيثَ , وَفِيهِ :
– وَأَمَّا خَالِدٌ فَقَدْ اِحْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتَادَهُ فِي سَبِيلِ اَللَّهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Umar untuk memungut zakat—al-hadits–. Dan di dalamnya disebutkan, “Adapun Khalid, dia telah mewakafkan baju-baju besi dan peralatan perangnya untuk membela jalan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 886 dan Muslim, no. 1468]
Pandangan Para Ulama Soal Hadits ini
Para ulama sepakat bahwa Hadits ini jadi dalil sahnya wakaf.
Sahnya wakaf benda yang manqul (yang bisa berpindah). (Lihat Syarh Shahih Muslim, 7:53).
Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa boleh mewakafkan sesuatu yang sifatnya manqul (benda yang bisa berpindah) di mana benda ini bisa dimanfaatkan namun bentuk bendanya tetap ada seperti baju besi dan senjata.
Bisa pula berupa wadah, kitab, hewan, dan peralatan elektronik. (Lihat Minhah Al-‘Allam, 7:25)
Wakaf tidak selamanya dengan harta milik yang tak bergerak (al-‘aqar, seperti tanah, rumah).
Ibrahim An-Nakhai rahimahullah berkata, “Dulu orang-orang menahan hartanya untuk wakaf dengan kuda dan senjata dengan tujuan dipakai di jalan Allah.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 6:251)
Semoga Bermanfaat, Segala Kekeliruan hadir dari kecerobohan tangan penulis dan segala kebenaran adalah pertolongan Allah terhadap penulis.
والله تعالى أعلم