Biasanya, usai digunakan shalat Maghrib berjamaah, mushala kecil itu langsung sepi. Bahkan tak jarang pula meski waktu Magrib hampir habis, tidak ada satu orang pun yang datang untuk shalat. Apalagi Isya, sepi dan sangat gulita!
Karena sejak sore, warga Kampung Cinala, Desa Margalaksana, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat itu lebih senang diam di rumah daripada harus bergelap-gelapan ke mushala.
Pasalnya, sejak subsidi minyak tanah dicabut, warga memang sangat kesulitan untuk melawan gelapnya malam. Bila ingin semalaman pelitanya menyala, maka harus menghabiskan satu liter minyak tanah yang harganya sudah menembus Rp 10.000,- itu. Padahal penghasilan warga kampung yang berjumlah 12 KK itu rata-rata Rp 15.000,- per hari.
Alhamdulillah, sejak adanya wakaf sarana pembangkit listrik tenaga air arus tenang (pikohidro) yang di bangun akhir tahun 2010 lalu, mushala satu-satunya di Cinala itu makmur kembali.
Apalagi ba’da Maghrib, dipenuhi belasan anak-anak yang belajar mengaji. “A’uzubillaahi minasyaithaanir-rajiim… Bismillaahirrahmaannirrahiim… a, ba, ta, tsa…” pekik seorang gadis kecil di tengah riuh gaduhnya anak-anak yang menunggu giliran membaca Iqra.
Bukan hanya mushala, rumah warga pun kini terang sepanjang malam. Dengan jatah listrik 25 Watt per rumah. Setiap rumah hanya dipungut biaya Rp 5.000 rupiah saja per bulannya. Dana itu digunakan untuk biaya pemeliharaan mesin pembangkit listrik yang merupakan wakaf dari para wakif BWA.
Jelaslah pengadaan pembangkit listrik pikohidro yang merupakan bagian dari Program “Tebar Cahaya Indonesia Terang” ini sangat berguna untuk meringankan beban serta meningkatkan kualitas kehidupan warga terpencil yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani tersebut.[]