“Alhamdulillah,” ujar Ki Usuf (75 tahun) warga kampung Cisuren Cicemet, Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, ketika melihat lampu pijar di dalam rumahnya bersinar untuk pertama kalinya pada awal Agustus 2010 lalu. Ini pun kali pertama bagi 15 kepala keluarga warga kampung Cisuren tersebut dapat menikmati listrik sejak 65 tahun Indonesia merdeka.
Sebelumnya, untuk penerangan, mereka menggunakan pelita. Per malam menghabiskan satu liter minyak tanah. Harga per liternya Rp 10.000,-. Bagi Ki Usuf sepuluh ribu itu bukan uang yang sedikit karena peluh yang ia kucurkan sepanjang hari sebagai buruh tani hanya dihargai Rp 15.000.
Artinya hampir 70 persen dari pendapatan habis untuk biaya penerangan. Dalam sebulan berarti Rp 300.000,- harus dikeluarkannya bila ingin setiap malam pelita bisa tetap menyala. Itulah salah satu potret kehidupan masyarakat desa yang belum tersentuh cahaya listrik.
Listrik tersebut merupakan realisasi dari program Tebar Cahaya untuk Indonesia Terangyakni berupa pembangunan pembangkit listrik tenaga air (pikohidro) yang diluncurkan Badan Wakaf Al Qur’an (BWA). Teknologi pikohidro sangat praktis dan cukup efesien, mampu menghasilkan daya listrik antara 500 Watt – 2000 Watt per unitnya.
Dengan menggandeng Al Azhar Peduli Umat dan IBEKA pimpinan Tri Mumpuni, BWA menargetkan membangun 6 unit pembangkit listrik pikohidro kapasitas 500 watt per unit sampai dengan Desember 2010.
Listrik mampu meningkatkan taraf kehidupan warga setempat. Mereka tidak perlu lagi mengeluarkan Rp 300.000,- untuk biaya penerangan, cukup dengan Rp 5.000,- saja per bulan. Perhitungannya setiap keluarga mendapat jatah 25 Watt dan dikenakan biaya Rp 200,- per watt per bulan.
Sedangkan manfaat lainnya, para pelajar menjadi memiliki waktu yang lebih panjang untuk belajar di malam hari. Di siang hari, energi listrik tersebut dapat digunakan untuk kegiatan produktif seperti mengolah hasil pertanian dan industri kecil kerajinan rakyat.