Rasulullah saw dan Para Sahabat dalam Berwakaf
Sebagaimana diterangkan, wakaf memiliki keutamaan amat besar. Di antara yang amat menggiurkan adalah terus mengalirnya pahala bagi orang yang wakaf selama harta wakafnya masih ada dan dapat diambil manfaatnya. Bahkan ketika sudah meninggal sekalipun. Siapa yang tidak ingin, ketika tubuhnya terbaring di kuburan, sudah tidak bisa melakukan amal shaleh, namun masih terus mendapatkan kiriman pahala. Semakin panjang usia harta yang diwakafkan dan semakin besar manfaat yang dialirkan oleh harta itu, semakin besar pula pahala yang akan didapat oleh orang yang mewakafkannya.
Maka tidak mengherankan jika para sahabat sangat bersemangat mewakafkan hartanya. Kita bisa melihat bagaimana sahabat Umar bin al-Khaththab ra, sebagaimana dalam hadits yang sudah disebutkan. Ketika beliau mendapatkan rezeki berupa tanah yang sangat bernilai, yang terpikir dalam pikirannya adalah pahala besar yang akan didapatkan dari harta itu. Maka, beliau pun menghadap Nabi saw untuk meminta petunjuk tentang hal tersebut. Rasulullah saw menyarankan agar Umar menyedekahkannya. Menyedekahkan hartanya yang setelah itu tidak bisa dijual, diberikan, atau diwariskan. Manfaat dan hasil dari harta disedekahkan itu diperuntukkan bagi orang-orang miskin, kaum kerabat, membebaskan budak, jihad fi sabilillah, ibnu sabil, dan para tamu. Sedangkan tanahnya sendiri ditahan. Tanah itu tidak bisa diambil lagi oleh pemiliknya, tidak boleh diwariskan kepada ahli warisnya, tidak boleh dijual, dan tidak boleh dihibahkan kepada orang lain.
Demikian juga yang dilakukan Utsman bin ‘Affan ra. Ketika Nabi saw datang di kota Madinah dan tidak menjumpai sumber air yang enak rasanya selain air sumur ‘Raumah’. Utsman bin ‘Affan ra berkata, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ فَيَجْعَلَ دَلْوَهُ مَعَ دِلَاءِ الْمُسْلِمِينَ بِخَيْرٍ لَهُ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ. فَاشْتَرَيْتُهَا مِنْ صُلْبِ مَالِي
Barangsiapa yang mau membeli sumur Raumah kemudian dia menjadikan embernya bersama ember kaum muslimin, maka dia akan mendapat balasan lebih baik dari sumur itu di surga. Utsman berkata, “Aku pun membelinya dari harta pribadiku” (HR al-Nasai dan al-Tirmidzi).
Diceritakan oleh Anas bin Malik, bahawa Abu Talhah adalah seorang Anshar yang paling banyak memiliki kebun kurma di Madinah. Antara kebun kurma yang paling disayangi ialah kebun kurmanya di Bairuha, yang terletak berhadapan dengan masjid. Rasulullah SAW sendiri pernah berkunjung dan meminum airnya. Ketika turun ayat:
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai (QS Ali Imran [3]: 92).
Maka Abu Talhah berdiri seraya berkata kepada Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah Swt berfirman: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai; dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha. Aku mengharapkan kebaikan dan simpanannya di sisi Allah, berikanlah harta itu kepada siapa pun yang ditunjukkan Allah kepadamu. ” Rasulullah saw bersabda: Bagus, ini adalah harta yang beruntung. Dan sesungguhnya aku telah mendengar apa engkau katakan. Sesungguhnya aku menunjukkan agar kamu menjadikannya untuk kaum kerabat.” Abu Thalhah berkata, “Aku kerjakan, wahai Rasulullah.” Abu Thalhah lantas membagi-bagikannya kepada kerabatnya dan anak-anak pamannya (HR al-Bukhari).
Bukan hanya mereka. Para sahabat juga memiliki sikap yang sama dalam mewakafkan harta. Jabir ra berkata:
لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ذُو مَقْدِرَةٍ إلَّا وَقَفَ
Tidak ada seorang pun di antara para sahabat Nabi yang memiliki kemampuan (untuk berwakaf) melainkan dia akan mengeluarkan hartanya untuk wakaf.[1]
Dan tentu saja panutan dan teladan manusia, Rasulullah saw. Beliau adalah uswah dalam seluruh kebaikan, termasuk dalam soal mewakafkan harta. ‘Amr ibn al-Harits ra berkata:
مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عِنْدَ مَوْتِهِ دِرْهَمًا وَلاَ دِينَارًا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ أَمَةً وَلاَ شَيْئًا ، إِلاَّ بَغْلَتَهُ الْبَيْضَاءَ وَسِلاَحَهُ وَأَرْضًا جَعَلَهَا صَدَقَةً .
Rasulullah saw tidak meninggalkan dirham, dinar, dan budak lelaki atau perempuan. Beliau hanya meninggalkan seekor bighal yang berwana putih, senjata, dan tanah yang telah beliau jadikan sebagai sedekah (HR. al-Bukhari)
Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fat-h al-Barri menjelaskan riwayat ini, “Rasulullah saw menyedekahkan manfaat dari tanahnya. Hukumnya adalah hukum wakaf.”[2]
[1] Ibnu Qudamah, al-Mughnî, vol. 6 (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1968), 3
[2] Ibnu Hajajar al-Asqalani, Fat-h al-Qadîr, vol. 2 (Beirut Dar al-Ma’rifah, 1379H), 2