Pernahkah Anda mendengar nama pulau Adonara? Ya, pulau Adonara terletak di wilayah NTT. Di
sana tinggal seorang ustadz bernama Arifudin Anwar, beliau selaku pengasuh pondok pesantren
Ikhwatul Mukminin, Adonara, Flores Timur, NTT.
Ulet dan penuh tawakal. Itulah dua kata yang pas untuk menggambarkan sosok Arifudin
Anwar, seorang dai yang berkiprah di kawasan Flores, Nusa Tenggara Timur. Mengingat
medan dakwah di Nusa Tenggara Timur, khususnya kawasan Flores, cukup berat. Di awal
dakwahnya, Ustadz Arifudin kerap menggunakan sepeda untuk naik-turun bukit
menyambangi umat Islam yang butuh bimbingan.
“Dengan penerangan sinar rembulan saya kayuh sepeda naik-turun perbukitan,” tuturnya
mengenang masa-masa itu. Semua ia jalani dengan tekun dan penuh tawakal kepada Allah,
walaupun tidak menerima bayaran dari jamaah pengajiannya yang memang rata-rata
masyarakat ekonomi lemah dari kalangan petani dan nelayan.
Selepas menuntut ilmu di Ngruki, Jawa Tengah tahun 1986, Arifudin sempat mengajar enam
bulan di pesantren tersebut, kemudian menjalani tugas dakwah di kampung Arab, Bima,
NTB. Baru pada tahun 1988 kembali ke kampung halaman di Adonara, Nusa Tenggara
Timur, dan memulai kegiatan dakwah dan membentuk jamaah pengajian di sana.
Tahun 1998 ia memberanikan diri membuka pesantren, namun mengalami kegagalan,
Tantangan dari masyarakat — yang belum terbiasa dengan lembaga pesantren– terlalu kuat
bagi Arifudin muda ketika itu. Lima tahun kemudian, tahun 2001, ia pun melanjutkan
pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Jakarta dan mengantongi gelar S1 Ekonomi.
Tahun 2002 sambil menjalani kuliah, Arifudin bersama beberapa teman dakwahnya kembali
membuka pesantren yang diberi nama Ikhwatul Mukminin, dan Alhamdulillah bisa berlanjut
sampai sekarang. Pesantren ini memiliki jenjang pendidikan SMP-SMA untuk santri-
santrinya.
Setelah meraih gelar sarjana ekonomi, ia bisa saja mencari nafkah di Jakarta atau
melakukan aktivitas dakwahnya di kota-kota di pulau Jawa, daerah yang perekonomiannya
lebih menjanjikan. Tapi, panggilan dakwah dari kampung halamannya lebih kuat untuk
mengajaknya pulang.
Untuk menjaga agar dapur tetap ngebul dan dakwah berjalan lancer, ia pun berdagang di
pasar. “Modal dagang cuma sembilan puluh ribu rupiah, itu yang saya punya ketika itu,
berdagang sabun di sana,” tuturnya. Tanpa malu ia menggelar dagangannya di emper toko,
padahal keluarga besarnya adalah salah satu keturunan Sultan Ternate.
Keprihatinannya terhadap nasib kaum muslimin di tanah kelahirannya membuatnya semakin
bersemangat untuk meningkatkan martabat mereka, baik dari sisi keagamaan maupun
perekonomiannya. Untuk itulah ia membangun pesantren sederhana guna membina kader-
kader dakwah di sana.
Pada tahun 2010, dimulai interaksi pertamanya dengan Badan Wakaf Al Qur’an (BWA).