#kisahnyata
Bunda Ku Sayang
Namaku Muhammad Hilmy Abizar Gifari, anak ke dua dari pasangan ayah Hardi Spd dan bunda Nurkomala Spd (almarhumah). Nama kakakku Tazkia Faza Nadira, saat ini kakakku duduk di kelas IX SMP Muhammadiyah Cawang. Aku dilahirkan di RS Budi Asih Jakarta pada tgl 8 Desember 2006, usiaku saat ini 11 tahun, aku duduk di kelas VA SDN Rawajati 08 Jakarta Selatan. Sejak kecil kami dididik oleh ayah dan bundaku dengan kasih sayang.
Aku juga punya saudara sepupu yang sangat mencintai kami berdua, namanya kak Hola, kak Hana, dan Dilla, mereka adalah anaknya wak Neneng kakak perempuan Bundaku yang tinggal didekat rumahku. Wak Neneng begitu menyayangi kami sebagaimana beliau menyayangi anaknya sendiri. Apa lagi Bapak (Suaminya wa Neneng) sangat sayang kepadaku, setiap pagi aku diantarnya ke sekolah sebelum bapak berangkat kerja.
Ketika aku masih duduk di kelas I, musibah menghapiri keluarga kami, Bundaku diuji oleh Allah Subhana Wa Ta’ala dengan suatu penyakit, ketika itu di akhir tahun 2013, Oleh ayah, Bunda diantar ke rumah sakit untuk berobat, namun belum juga sembuh. Aku belum tahu Bunda sakit apa saat itu, ayahku tidak mengatakannya, sedangkan wak Neneng dan Bapak juga belum tahu, apalagi kakak-kakak sepupuku, mereka juga tidak mengetahuinya.
Lambat laun tapi pasti kondisi Bunda semakin memburuk, sehingga sering aku tidak bisa bermain dan belajar dengan Bunda dikarenakan Bunda harus bolak balik ke rumah sakit. Bahkan ayah sering minta ijin kepada pimpinannya untuk mengantar Bunda ke rumah sakit. Untuk segala keperluan belajar dan sekolahku ada wak Neneng yang selalu memperhatikan aku dan kakakku. Suatu hari Bunda harus menjalani pentyinaran yang direkomendasikan oleh dokter ahlinya di rumah sakit Darmais selama 20 (dua puluh), ketika itu satu hari setelah pertengahan bulan ramadhan. Selama libur lebaran Ayah dan bapak serta wak Neneng yang selalu mengantar ke rumah sakit setiap hari. Dalam perjalanan setiap hari ke rumah sakit, bapak yang sering menyetir mobil harus sangat hati-hati dan pelan-pelan sekali agar jalannya mobil tetap tenang dan nyaman bagi Bunda, karena setiap ban mobil melindas batu krikil yang sangat kecil saja Bunda teriak kesakitan, apa lagi bila sampai ban mobil melintasi jalan yang berlobang, pasti Bunda menangis kesakitan, sehingga ayah juga sering ikut menangis kasihan menyaksikan penderitaan Bunda. Itu dijalankan selama dua puluh hari, sungguh sangat menyiksanya, namun Bunda tetap tabah dan sabar dalam menjalaninya.
Setelah selesai terapi penyinaran, penyakit Bunda juga belum sembuh, saya dengar katanya harus segera diangkat (aku ga tahu apanya yang harus diangkat ketika itu), namun katanya menunggu jadwal dari dokter. Tetapi setelah ditunggu-tunggu juga belum mendapatkan jadwal operasi, akibatnya, penyakit Bunda semakin parah, aku dengar stadium empat (istilah apa lagi aku sama sekali ga memahaminya), akhirnya kondisi Bunda sangat ngedrop sekali, saya sering menangis ketika melihat Bunda ingin berjalan ke kamar mandi. Padahal untuk aktivitasnya Bunda sudah harus ditopang dengan kursi roda.
Akhirnya setelah wak Neneng, Bapak dan Ayah berbincang-bincang dengan tante Uthi (perawat di RS Medistra), Bunda dibawa ke UGD Rumah Sakit Darmais, setelah diperiksa oleh dokter UGD diputuskan harus dirawat inap. Selama Bunda menjalani rawat inap, maka ayah ambil cuti untuk menemani Bunda di rumah sakit, sedangkan aku dan kakak di rumah ditemani wak Neneng, kak Hola, kak Hana, kak Dilla dan saudara Bunda yang lain. Setiap akhir pekan aku dan kakak diajak Bapak dan Wa Neneng membesok Bunda sekalian ketemu dengan ayah di rumah sakit. Setiap aku dan kakak ketemu Bunda rasa kangenku terobati, tapi hatiku juga semakin sedih melihat keadaan Bundaku sayang. Bunda yang tadinya periang, penuh kasih sayang kepada kami, kondisinya semakin tidak pasti. Suatu ketika aku dan kakak membesok bersama kakak Hola, kakak Hana dan kakak Dilla, diciuminya aku dan kakakku sambil menangis menahan rasa rindu, Bunda juga berpesan kepada kami, “ka Azka dan Hilmy, belajar yang rajin ya, jangan lupa sholat dan ngaji, bantu ayah ya… nurut klo perlu apa-apa bilang sama wak Neneng dan Bapak ya” dengan tutur kata yang sangat lemah. Sepulang dari rumah sakit waktu itu Sabtu 11 Oktober 2014 malam jam 21.00, kami naik bis Trans Jakarta, dalam perjalanan pulang aku memberanikan diri bertanya kepada kakak-kakak sepupuku, “ kakak, Bunda sakit apa sih kok lama sekali di rumah sakitnya ?” tanyaku, waktu itu kak Hola dan kak Hana yang mencoba menjelaskan Bunda sakit apa, katanya, “dede Hilmy dan kakak Azka, doakan Bunda ya agar cepat sembuh, saat ini Bunda sedang Allah uji dengan suatu penyakit, yaitu kanker payudara yang sangat ganas. Kakak Azka dan dede Hilmy banyak berdoa kepada Allah agar Bunda disembuhkan ya…rajin Sholat dan ngaji jangan ditinggal”.
Pada Selasa 14 Oktober 2014 jam 18.00 kondisi Bunda memburuk, menjadikan ayah semakin panik, dan akhirnya semua saudara Bunda ditelpon agar segera ke rumah sakit. Jiddah Mama, Jiddah Tatik, wak Wawan, wak Dadang, Wak Neneng, Bapak, wak Nanun, wak Uji, wak Eva, wak Ojak dan cie Pipit semuanya berkumpul di rumah sakit, termasuk aku dan kakak Azka ditemeni oleh kaka Hola, kakak Hana, kaka Dilla bersama wak Yus datang ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit aku dan kakak Azka diajak masuk ke ruangan oleh wak Neneng menemui Bunda. Betapa terkejutnya aku dan kakak Azka melihat keadaan Bunda. Di badan Bunda dipasangi banyak alat aku ga tahu apa namanya, Bunda sudah tidak bisa mengenali aku dan kakakku, seketika aku dan kakakku teriak memanggil Bunda sambil menangis. Aku sedih, aku tidak mau ditinggal Bunda, aku sayang Bunda, Bunda cepat sembuh, teriakku waktu itu, semua mencoba menghiburku, tapi entah mengapa aku dan kakakku tidak bisa menghentikan tangisku. Akhirnya Bapak masuk menghampiri kami di ruangan lalu aku dan kakakku diajaknya keluar, sesampainya di ruang tunggu Bapak memeluk aku dan kakakku sambil berbisik, “adik, kakak Azka, bunda dalam kondisi kritis, jangan nangis ya, Bunda semakin sedih, ayo bacakan alfatihah ya….”. Entah kenapa aku bisa nahan tangis dan mengikuti Bapak membaca Alfatihah, istifar, dan banyak doa yang kami lafazkan agar meringankankan Bunda. Jam 00.30 aku, kakakku dan saudara sepupuku yang lain pulang, disusul Jidah tatik, wak Dadang pulang, tinggallah Jidah Mama, wa Wawan, wa Euis, wa Neneng dan Bapak serta cie Pipit yang menemani ayah menjaga Bunda.
Pagi hari ketika aku dan kakakku bersiap sekolah, kakak Hola, kakak Hana wa Nanun berbisik kepada aku dan kakaku, “dede Hilmy, kakak Azka, hari ini ga usah sekolah dahulu ya…” katanya, aku bingung kenapa ga boleh sekolah, namun aku diam dan menurut saja, begitu pula kakakku. Aku dan Kakak di ajak ke rumah Jiddah Mama yang letaknya di pinggir jalan komplek, bukan di dalam gang seperti rumah kami. Di rumah Jiddah Mama, semua orang pada sibuk, Jiddah Tatik juga datang dan langsung mengatur ruangan, dalam hati aku bertanya, “ada apa ini mereka pada sibuk sementara Jiddah Mama, wa Neneng, wa Wawan dan yang lain ada?” Begitu pula saudara Ayah, semua pada berdatangan membuat aku semakin bingung, dan anehnya mereka selalu memelukku tidak seperti biasanya. Sekitar jam 09.00 aku dikejutkan oleh suara sirena mobil ambulan yang meraung-raung dari kejauhan, dan anehnya semua yang ada di rumah langsung keluar dan membuka pintu pagar. Tak lama mobil ambulan tiba dan berhenti tepat di depan pintu pagar rumah Jiddah Mamah. Kami mengerubungi mobil ambulan tersebut, terkejut dan histeris aku dan kakakku setelah Ayah keluar sambil menangis. “Ayaaaahhh, Bunda mana? Bunda Mana? Bunda mana? Teriakku berulang kali sambil mengoyang-goyang tubuh Ayah yang lunglai. Akhirnya Bapak keluar dari mobil diiringi oleh Wa Neneng dan Jiddah Mama. Tak lama pak Sopir ambulan bersama Bapak dan dibantu yang lain mengeluarkan sesosok jenazah dari dalam mobil, dab akupun tersadar bahwa jenazah tersebut adalah jenazah Bunda.
Hari itu banyak saudara, teman-teman Bunda dan handaitaulan yang berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir pada jenazah Bunda, yang ternyata semasa hidupnya seorang aktivis dakwah Islam yang istiqomah. Hari itu juga jenazah Bunda dimakamkan di makam keluarga masih di dekat rumah.
Kini tiga tahun sudah aku dan kakakku kehilangan Bunda. Sedih hatiku ketika melihat teman-temanku pergi ke sekolah diantar oleh mamanya, setiap kegiatan di sekolah selalu didampingi oleh mamanya juga. Kadang aku merasa iri, merasa minder dan sebagainya. Namun aku buru-buru membuang perasaan itu semua, karena aku dan kakakku masih memiliki Ayah yang menyayangi, masih mempunyai wak Neneng yang baik hati selalu siap ketika aku butuh kasih sayangnya, masih ada Bapak yang setia menemani aku bermain dan antar aku ke sekolah.
Teman-teman, kata pak Ustadz, hidup itu hanya sementara, berbuat baiklah kepada sesama, taat kepada Allah, jangan durhaka kepada ayah, insya Allah masuk syurga
Bunda aku sayang kamu, walaupun engkau sudah tiada, aku merindukan kasih sayangmu, selamat jalan Bunda semoga kita bertemu di surga.
Jakarta 10 Oktober 2017
Aku yang merindukanmu
Hilmy Abizar Gifari.